Empat orang tewas dipenggal dan tujuh rumah dibakar di Desa Lemban Tongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) dalam aksi terorisme keji yang dilakukan kelompok ekstremis Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora. Peristiwa terjadi pada Jumat (27/11) sekitar pukul 09.00 WITA. Korban adalah satu keluarga, terdiri dari Yasa, Pinu, Naka, dan Pedi. Salah satu dari enam rumah yang dibakar biasa digunakan sebagai tempat pelayanan umat Nasrani.
Menurut Kapolres Sigi, pelaku awalnya meminta bahan makanan kepada korban, namun ditolak. Pelaku kemudian marah dan membunuh keempat korban.
Ulin, anak kandung Yasa, berhasil melarikan diri dan melaporkan kejadian ke desa terdekat. Ia mengaku melihat pembunuhan keluarganya, menjadikannya salah satu saksi kunci.
“Polsek Palolo menerima informasi dari masyarakat bahwa ada salah satu warga Dusun 5 Lewonu yang dipenggal kepalanya dan beberapa rumah dibakar oleh orang tidak dikenal. Sesampainya di TKP, anggota Polsek Palolo menemukan 4 mayat dan 7 rumah warga dalam kondisi terbakar” kata Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Awi Setiyono, saat dikonfirmasi wartawan.
Olah TKP oleh Tim Gabungan Polres Sigi melakukan evakuasi jenazah dan mencari saksi. Hasil investigasi menguak pelaku berjumlah sekitar 10 orang, tiga di antaranya membawa senjata api. Ali Kalora, pemimpin MIT setelah Santoso terbunuh dalam operasi gabungan aparat pada 2016, diyakini saksi termasuk di dalamnya.
“Saksi setelah diperlihatkan DPO teroris MIT, meyakini identitas 3 orang OTK tersebut adalah teroris kelompok Ali Ahmad alias Ali Kalora dan kawan-kawan,” lanjut Awi.
Akibat kejadian ini, 150 keluarga di Desa Lembantongoa diungsikan untuk menghindari penyerangan lain. Selain itu, seratus anggota Satuan Tugas (Satgas) Operasi Tinombala langsung diterjunkan untuk mengejar pelaku. Panglima TNI juga mengirim pasukan khusus untuk ikut memburu anggota sel Ali Kalora.
Operasi Tinombala—sebelumnya sempat bernama Operasi Aman Maleo dan Operasi Camar Maleo—adalah misi gabungan TNI-Polri yang dibentuk guna menumpas kelompok MIT di Poso, Sulteng, sejak 2013. Namun, perang melawan MIT sudah dimulai pada 2010. Operasi inilah yang berhasil menewaskan Santoso, pemimpin legendaris MIT, pada Juli 2016.
Institut Mosintuwu, kelompok think-tank yang meneliti konflik kekerasan di Sulteng, sepakat dengan pernyataan polisi. Dalam rilis tertulis di situs resminya, Institut Mosintuwu menilai pembunuhan oleh MIT memang berpola acak tanpa memandang agama atau suku.
Sepanjang 2020, MIT tercatat sempat membunuh tiga warga Poso. Dua di antara korban, Daeng Tapo (dibunuh 8 April) dan Ajeng (dibunuh 19 April), diketahui beragama Islam. Tahun lalu, kelompok Ali Kalora juga membunuh Wayan Astika pada 3 September 2019 yang beragama Hindu. Modus pemenggalan korban kerap dilakukan MIT. Sejak 2015, total sudah 16 orang dipenggal kelompok ini. Perburuan polisi juga memakan korban, yakni 3 orang tewas ditembak karena salah disangka sebagai teroris.
“Meminta semua pihak untuk menghentikan penyebaran isu penyerangan agama dalam kasus di Kabupaten Sigi dan lebih mendorong penegakan hukum atas kejahatan keji kelompok MIT,” tulis Direktur Institut Mosintuwu Lian Gogali.
Pengamat konflik kekerasan dan terorisme sekaligus Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones meminta aparat tidak berfokus pada Ali Kalora semata ketika kembali melancarkan operasi perburuan. “Soal operasi bukan soal jumlah aparat, tapi intelnya harus terperinci. Kualitatif, bukan kuantitatif. Sebaiknya jangan terlalu fokus pada satu orang seperti Ali Kalora. Ada orang dari Bima, misalnya, namanya Qatar, yang ternyata mungkin lebih berpengaruh daripada Ali Kalora,” kata Sidney kepada VICE.
“Bisa saja ada dampak dari Covid-19 [terhadap kelompok], artinya [mereka menganggap] ini saatnya untuk menyerang. Tapi, bisa saja mereka mau membuktikan bahwa setelah begitu banyak tekanan, mereka masih tetap eksis dan bergerak.”
Jones belum bisa menyebut apakah dalam pembantaian kali ini, MIT memilih korban secara acak. “Kelihatannya tidak random saja. Mereka, apalagi si Qatar, dengan sengaja memilih targetnya,” kata Jones.
Aksi keji MIT pimpin Ali Kalora mulai rutin terjadi sejak 2016. Selama empat tahun terakhir, aparat dianggap gagal menangkap kelompok teroris yang diyakini bersembunyi di pedalaman Hutan Palolo, Sulteng. Kepada BBC Indonesia, pengamat terorisme Ridlwan Habib menyebut kelompok Ali Kalora diuntungkan kondisi geografis hutan yang sulit dijangkau. Selain itu, komunikasi yang tidak menggunakan telepon genggam menyebabkan kelompok ini makin sulit dilacak.
“Pernah coba pakai thermal drone untuk memotret suhu panas tubuh., ternyata ada kekeliruan. Karena suhu tubuh manusia mirip dengan mamalia seperti kera atau monyet, sehingga ketika mau menyerang dan didekati ternyata segerombolan monyet besar. Pernah dicoba pakai drone detector untuk mendeteksi gerak, ternyata salah deteksi lagi,” kata Ridlwan kepada BBC Indonesia.
Ridlwan turut menyarankan aparat menggunakan strategi baru. Misalnya, mengubah pendekatan patroli rutin yang dilakukan Satgas Tinombala menjadi operasi militer yang dilakukan Kopasus. “Ini bukan kelompok yang bisa digalang dengan lunak. mereka ini prinsipnya membunuh atau terbunuh. Dialog juga tidak bisa,” kata Ridlwan.
Terbunuhnya Santoso, pemimpin MIT sebelum Ali, pada 2016 nyatanya tidak menyurutkan gerakan kelompok ekstremis tersebut melakukan aksi terorisme atas nama loyalis ISIS. Pada April lalu, IPAC merilis artikel analisis tentang cara MIT bertahan hidup sesudah tewasnya Santoso.
Ali, sebagai pemimpin baru sel teror kecil ini, menemukan sumber suplai senjata baru dan metode rekrutmen baru. Bekerja sama dengan Ustaz Yasin, mantan anggota Jamaah Islamiyah yang keluar penjara pada 2016, Ali mengambil hati napi teroris yang sakit hati dengan perlakuan negara. Salah satunya, menawarkan sekolah gratis di pesantren binaan Yasin kepada anak mantan napi teroris.
Sementara Menkopolhukam Mahfud MD menilai tindakan kelompok Ali Kalora sudah masuk ranah kejahatan murni, bukan lagi teror yang dilandasi motif agama Islam. “Peristiwa [di Sigi] ini dilakukan kelompok kejahatan yang bernama Majelis Mujahidin Indonesia Timur yang dipimpin oleh Ali Kalora yang tidak bisa disebut mewakili agama tertentu,” ujarnya dalam konferensi pers.