“Bagaimana pemirsa, mudah bukan untuk membuatnya?”
Kalimat tanya retoris dari pesohor boga Sisca Soewitomo selalu bikin saya, saat itu masih SD, antusias bukan main. Lontaran pertanyaan menandakan program masak akan segera selesai, berganti film kartun yang jadi tujuan awal saya menyalakan televisi.
Sudah mantap duduk depan layar beberapa menit sebelum jadwal pemutaran kartun dimulai bikin saya tiba-tiba jadi penonton setia Bu Sisca, menandai perkenalan pertama saya sama acara masak-masak.
Nama acaranya Aroma, dulu tayang di Indosiar. Pelan tapi pasti, saya membiasakan diri nonton Bu Sisca dulu sebelum nonton kartun. Mungkin nonton orang masak juga ngasih kepuasan batin bagi tukang makan kayak saya.
Atau mungkin di lagu resmi acara ini disisipkan mantra hipnotis penarik penonton, biar enggak bisa dilupain begitu masuk telinga.
Selain emang terus-terusan diputar di awal, saat memasak, dan di akhir program, musik latar Aroma emang terasa sederhana dan hangat. Kata sifat ini patut pula dipakai buat menggambarkan masakan-masakan Bu Sisca yang emang “merakyat”.
Kepada Whiteboard Journal, Sisca menjelaskan tugas besarnya di Aroma adalah menerangkan cara membuat masakan dengan bahasa yang mudah ditangkap, sebab penontonnya datang dari berbagai latar belakang. Dalam membuat resep, ia memperhatikan tiga faktor kunci: bahan yang mudah didapat, mudah diolah, dan menggoda selera.
Kesederhanaan inilah yang membuat ibu saya berutang banyak kepada resep masakan Sisca. Utang itu menurun kepada saya sebagai anak yang perutnya diisi berbagai hidangan yang “mudah sekali membuatnya” itu.
Pernah ada saat saya meragukan kemampuan memasak Bu Sisca gara-gara keseringan nonton Aroma. Pasalnya, ia kerap masukin masakan ke oven, lalu tahu-tahu masakan itu keluar dari bawah meja karena sudah disiapkan sebelumnya. Saya kan bingung, loh, kok tahu-tahu masakan udah jadi? Anak SD mana paham pentingnya menghemat waktu saat syuting acara tivi atau arti dari taping. Kalau saya ingat-ingat lagi masa-masa itu, saya rasanya ingin minta maaf kalau ketemu Bu Sisca sebab udah lancang melahirkan prasangka buruk itu.
Bagi saya, bagian terbaik sebagai penonton cilik Aroma adalah betapa indahnya suara Bu Sisca dalam membawakan acara. Kalem dan menenangkan, membuat saya enggak tega berpikir mau jadi anak bandel. Cara Bu Sisca menjelaskan cara masak dan bahan-bahannya mirip banget sama guru paling sabar di SD saya, pelan dan penuh kasih sayang. Bahasa yang digunakan juga apa adanya dan bernada lemah lembut alami. Saya rasa Ali Mochtar Ngabalin juga bakal santuy kalau berdebatnya sama Bu Sisca.
Kemarin, 4 Agustus, Bu Sisca mengunggah fotonya menggantung panci disertai tulisan bernada pensiun. Karena selama ini menganggap profesi juru masak, layaknya penulis, tidak punya istilah berhenti, saya kaget dan enggak rela. Dalam hati saya berharap, semoga frasa gantung panci ditulis Bu Sisca karena beliau mau beralih menggunakan wajan dan oven untuk lanjut memasak.
Tapi, kalau memang Bu Sisca merasa lelah dan ingin berhenti dulu, saya akan mencoba mengerti.
Saya cuma mau aturkan terima kasih karena Bu Sisca udah rutin masakin saya, dan mungkin banyak anak Indonesia lainnya, tanpa harus bertemu.