Baran memulai hari dengan penuh semangat. Perempuan ini mengajar bahasa Inggris di sebuah SMA khusus cowok di bilangan London barat. Setiap jam istirahat, dia menghabiskan waktu bersama guru perempuan lain, yang selalu mengenakan mantel kebesaran agar siswanya fokus ke papan tulis.
Baran tak pernah lupa membawa buku catatannya. Di dalam buku itu, terdapat daftar “Superstars of the Week” dan “Inappropriate Encounters”. Sementara “Superstars of the Week” berisi murid-murid teladan, daftar satunya lagi merekam semua perilaku siswa yang membuatnya risi. Setelah mencatat tindakan tak terpuji mereka, dia melaporkannya ke pihak sekolah.
“Saya sudah kayak Santa Claus,” katanya. “Ada daftar anak baik dan nakal.”
Daftar ini sangat penting untuknya. Para guru, khususnya yang baru menjabat, disarankan mencatat setiap perilaku tidak senonoh dari murid untuk nantinya dilaporkan sebagai masalah kedisiplinan. Catatan ini bertujuan untuk melindungi guru dari kemungkinan tuduhan.
Sepanjang 2020 sendiri, 16 dari 31 kasus (52 persen) yang dilaporkan ke Teaching Regulation Agency di Inggris berkaitan dengan pelecehan seksual. Tingkat keparahannya mulai dari pesan genit di Snapchat hingga serangan seksual secara langsung. Tahun lalu, ada 31 kasus (34 persen) pelecehan seksual dari 92 laporan terkait perbuatan tak terpuji.
Namun, perlu diingat bahwa ini hanyalah gambaran kecil dari profesi yang sangat luas. Sejauh ini, ada lebih dari 400.000 orang yang bekerja sebagai guru di Inggris. “Tak semua guru berpotensi menjadi ancaman bagi murid,” ujar Direktur Pengacara Colin Henderson dari organisasi Lawyers for Teachers. “Sudah sangat jarang guru dihukum karena salah satu pelanggaran ini.”
Kenyataan yang ada justru kebalikannya. Banyak ABG yang masih puber menggoda guru mereka. Kasus pertama yang dialami Baran menjadi yang paling meresahkan. “Semuanya berawal dari email minta tugas tambahan. Dia meminta saya untuk mengajarkannya selepas jam belajar dan sekolah,” kenangnya, tentang seorang murid kelas 10.
Baran awalnya mengira sang murid memang serius belajar. Dia segera menanggapi email tersebut, yang dia sesali di kemudian hari. Email itu dikirim pukul setengah 10 malam, alias di luar jam kerja.
“Di kelas berikutnya, saya memberi tahu akan membuat Google Doc yang berisi tugas sekolah tambahan,” lanjut Baran. “Tapi ketika saya memberi kelas tambahan, teman-temannya mengintip dari luar kelas, lalu masuk untuk menepuk pundaknya. Mereka benar-benar tidak sopan. Saya berjalan melewati mereka, dan rasanya sangat tidak nyaman. Saya membatin, ‘Aduh, kenapa aku setuju kemarin? Dia pasti kesenangan sekarang, mengira aku menaruh perasaan padahal tidak.’ Saya segera melaporkan dia.”
Akhir-akhir ini, murid tersebut semakin bertingkah posesif kepadanya. Pekan lalu, dia tidak pergi setelah kelas selesai. Ada yang ingin dibicarakan katanya, seolah-olah sang guru sudah tahu apa yang ingin dia sampaikan. Ceritanya Baran menyerahkan panduan revisi tambahan untuk siswa lain, dan murid yang mendekatinya tampak tidak terima. “Bu, kok Ibu tidak pernah memberi panduan khusus untukku?” desak sang murid.
“Dia keluar dari Google Doc ketika menyadari saya mengundang ketua kelas bahasa Inggris untuk mengakses file tersebut. Sikapnya semakin mengkhawatirkan,” tutur Baran sambil tertawa gugup.
Ada banyak siswa lain yang mengganggunya. Godaan dan siulan sudah menjadi santapan sehari-hari Baran. Beberapa mondar-mandir di luar kantor sampai telat masuk kelas, sedangkan yang lain menatapnya lekat-lekat ketika Baran berjalan di koridor sekolah. Kalau sudah kayak begini, dia buru-buru keluar dari gedung sekolah untuk menghindari catcall.
Saurav pernah menulis prosa untuk mengungkapkan obsesinya terhadap bekas guru bahasa Inggris. “Itu pertama kalinya ada yang tertarik dengan tulisanku. Dia mengajakku ngobrol dan mempromosikan tulisanku. Saya kira saya mencintainya,” lelaki 38 tahun itu mengakui. “Tubuhnya tinggi semampai, dan selalu memakai sepatu hak. Dia sering pakai makeup, lipstik merah, dan mengeritingi rambut.”
Gambaran sang guru sering muncul dalam cerita pendeknya pada saat itu. “Saya menyebutnya T. Menurut saya, dia tipe perempuan ideal. Seiring berjalannya waktu, ceritaku semakin eksplisit. Saya membayangkan bercinta dengannya, atau menggambarkan tubuh bugilnya. Saya bahkan menunjukkan cerita-cerita ini kepadanya. Dia agak mengabaikannya, saran-saran darinya selalu bagus. Saya selalu berpikir dia menyukai ceritanya,” ujarnya seraya menghela napas.
“Beberapa tahun kemudian, kami bertemu kembali dan saya merasa sangat malu. Saya telah melakukan apa yang tidak semestinya. Saya mengobjektifikasinya. Dia pasti merasa sangat tak nyaman membaca cerita-ceritaku selama tiga atau empat tahun, tapi dia hanya bisa menunjukkan sikap tegar.”
Jackson, guru IPA di kota Derby, menyebut pengalamannya tak separah yang lain. “Siswi ABG cenderung lebih pemalu, sedangkan siswa ABG jauh lebih frontal. Perilaku mereka mungkin lebih tidak senonoh.”
Perbuatan tidak sopan yang diterimanya dan dicatat ke perangkat lunak CPOMMS bersifat tidak langsung. Siswi diam-diam merekamnya, atau membuat pengakuan kalau Jackson seksi tapi dengan membawa nama temannya. Suatu hari, seorang murid melontarkan “Mr O’Daddy” (plesetan dari nama belakangnya) saat Jackson sedang mengajar mereka.
Guru lelaki, khususnya yang bukan kulit putih, merasakan kecemasan yang jauh lebih besar ketika menjaga nama baiknya. “Kalian harus memastikan laporan ada buktinya. Saya tak terlalu khawatir karena CCTV terpasang di setiap kelas,” Tapi sebagai guru muda berkulit cokelat yang mengajar murid kulit putih, kalian sudah bisa menebak orang-orang akan berkata apa [jika ada laporan murid melecehkan guru].”
Bagi Baran, masalah ini tak pernah bisa tuntas karena perilaku mereka dianggap wajar. Memperlakukan guru sebagai objek seksual secara berlebihan memiliki dampak yang sangat buruk. Di saat rekan guru perempuan menunjukkan simpati dan dukungan, guru lelaki malah meremehkan atau mengabaikan laporannya. Pada akhirnya, guru memilih untuk bungkam ketika dilecehkan murid.
“Saat saya melapor siswa kelas 10 ke atasan, dia hanya mengatakan ‘namanya juga cowok’ atau ‘terus mau gimana?’” terangnya. “Dia lalu melanjutkan, ‘Mungkin dia menyadari betapa pentingnya pendidikan selama karantina.’ Memahami pentingnya pendidikan jelas hal mustahil bagi siswa seumuran dia.”
Parahnya lagi, guru lelaki menjadikannya semacam gurauan. Mereka sudah dewasa, tapi tingkahnya seperti bocah puber. “Siswa melecehkan guru. Lalu guru menseksualisasikan sesama guru,” ucap Baran. “Mereka tidak menyangka saya akan melapor karena perempuan biasanya diam saja. Tapi ini sudah menjadi tugasku. Saya tidak mau diperlakukan seperti itu.”
Colin telah puluhan tahun mendampingi guru di hadapan panel Teaching Regulation Agency. Dia berpendapat belum cukup kalau hanya mencatat saja. “Mencatat tindakan murid adalah pilihan bijak, tapi guru harus melaporkannya,” tegasnya. “Mereka tidak boleh diam saja. Ini bisa memberikan perlindungan, karena bisa saja para murid ini tidak paham kalau perbuatan mereka salah. Guru harus selalu berhati-hati dan terbuka.
“Mungkin ini dapat mempertaruhkan karier mereka, tetapi semua guru — tak peduli apa jenis kelaminnya — berhak merasa aman di lingkungan kerja mereka.”