KPU akan mengirim dua petugas pemungut suara dan dua saksi ke RS untuk memastikan pasien Covid-19 dan pasien rawat inap lainnya tetap bisa mencoblos di pilkada serentak Rabu (9/12) pekan depan.
Kabar tersebut disiarkan di media sosial KPU siang kemarin dan segera disambut kemarahan oleh warganet. Ide menyelenggarakan pilkada di tengah rekor kasus harian masih bermunculan saja sudah buruk. Kini, keselamatan petugas pemilihan mau dipertaruhkan pula.
Di Twitter, info tersebut langsung dikecam bertubi-tubi. Mungkin postingan di Instagram bernasib serupa sampai-sampai kolom komentarnya dinonaktifkan. Kecaman publik satu nada: bagaimana mungkin hak pilih ditempatkan lebih tinggi dibanding hak hidup?
Kebijakan mempertaruhkan nyawa petugas ini sebenarnya udah disuarakan Ketua KPU Arief Budiman sejak Juni silam. Pada rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI, Bawaslu RI, dan Kemendagri, Arief menyebut pihaknya akan menyiapkan fasilitas jemput bola ke pasien Covid-19.
“KPPS [kelompok penyelenggara pemungutan suara] dapat didampingi PPL [pengawas [pemilu lapangan] atau pengawas TPS dan saksi dengan membawa perlengkapan pemungutan suara mendatangi pemilih yang bersangkutan. Jadi, nantinya KPPS yang bertugas mendatangi pemilih akan menggunakan APD yang lengkap,” kata Arief, dilansir Jawa Pos. Konsep menemui pasien Covid-19 untuk diminta hak suaranya turut disampaikan KPU di Bantul, Bandar Lampung, Depok, dan Medan.
Kala itu pun epidemiolog Universitas Airlangga Laura Navika sudah menjelaskan, protokol beginian rawan bocor dan mengancam petugas pemungut suara. Sebab, tujuan pasien diisolasi kan buat meminimalisir kontak dengan orang lain. Kok ini malah ditemui?
Ide ini juga udah dilawan secara hukum pada 5 November silam. Koalisi warga yang menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Koalisi terdiri atas Muhammad Busyro Muqoddas (mantan Ketua KPK), Irma Hidayana (inisiator Lapor-Covid-19), Elisa Sutanudjaja (Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies), Ati Nurbaiti (wartawan dan aktivis HAM), dan Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan). Melalui kuasa hukum Lokataru Kantor Hukum dan HAM, koalisi meminta majelis hakim menunda pelaksanaan pilkada 2020.
Merespons cuitan KPU, Irma Hidayana menyebut harusnya pemerintah tidak membuat kebijakan pengendalian pandemi yang bisa menyakiti satu orang pun. Proses pilkada sudah terbukti tidak aman melihat banyaknya bakal calon kepala daerah terkonfirmasi positif dan meninggal.
“Bayangkan, pasien diisolasi dan hanya nakes yang memiliki akses ke sana, dilengkapi APD untuk mencegah paparan. Nah, ini petugas KPPU harus datang ke rumah sakit yang harusnya steril. Ini saya enggak habis pikir. Mudah-mudahan upaya [gugatan] yang kita lakukan ini didengar dan hakim menggunakan hati nuraninya karena yang dipertaruhkan adalah keselamatan warga,” kata Irma pada konferensi pers koalisi penggugat, hari ini (3/12).
Irma menambahkan info bahwa Lapor-Covid-19 turut membantu warga terpapar mendapatkan akses rumah sakit. Namun, dua minggu terakhir, proses perujukan sangat sulit dilakukan, khususnya di Jabodetabek.
“Sangat lama sekali merujuk pasien mendapatkan perawatan di ICU, ini sudah hampir kolaps. Artinya, kalau ada pilkada, potensinya akan semakin besar lagi. Nakes yang meninggal sudah 300 orang,” tambah Irma.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi menilai, selain soal keselamatan nyawa, pelaksanaan pilkada di kala pandemi juga membuat praktik politik uang semakin marak. Sebab, kondisi ekonomi masyarakat sedang terpuruk.
“Uang 10 ribu, 20 ribu, itu secara value memiliki nilai lebih besar ketimbang ketika warga tidak mengalami tekanan ekonomi,” ujar Burhanudin kepada CNN Indonesia.