Menjadi warga negara Indonesia memiliki bermacam tantangan khas. Kadang, ada momen yang membuat kita membatin, “kenapa aku dulu terlahir jadi penduduk Indonesia?”
Problemnya, pikiran suram macam itu sesekali muncul dari manuver-manuver elit politik yang ada di pemerintahan. Setahun belakangan, dan juga tahun-tahun sebelumnya, ada saja kebijakan, komentar, hingga berita perilaku pejabat yang semakin menambah pikiran. Dengan kata lain, pemerintah menjadi stressor atau pemantik stres bagi rakyatnya sendiri.
Hal macam ini yang dirasakan oleh Putri, seorang karyawan perusahaan asing di Bali. Keputusan Presiden Joko Widodo menandatangani UU Cipta Kerja membuatnya sangat lelah secara mental. Menurutnya, ini akan berdampak negatif terhadap dirinya dan rekan-rekannya di dunia hospitality.
“Karena aku overthinking, jadi misalnya pemerintah itu mengeluarkan kebijakan kayak Omnibus Law kemarin, kepikirannya langsung ke mana-mana gitu lho. Kan aku kerja sama company asing, benar-benar enggak aman,” tuturnya pada VICE. “Feeling for others juga, kayak teman-temanku. Dengan ketentuan yang ada sekarang aja masih banyak yang melanggar. Apalagi kalau peraturan bisa dipelintir ke mana-mana.”
Dia yang biasanya aktif mengonsumsi berita dan memberikan opini lewat media sosial, kini memilih untuk mengambil langkah preventif sebelum jatuh ke lubang yang lebih dalam. “Aku mute [semua akun berita di media sosial],” ungkapnya. “Kalau aku mau, baru aku buka Instagramnya. Jadi enggak bakal kelihatan di feed.”
Ketika Putri punya pilihan menjauh dari arus informasi, lain halnya dengan Irma yang berprofesi sebaga wartawan di Pulau Dewata. Sudah menjadi kewajibannya uselalu mencari dan menyajikan berita. Padahal, wartawan bukannya tidak pernah stres. Wartawan juga tidak bisa sulap ‘simlabim’ lalu stres hilang. Banyak jurnalis akhirnya memaksakan diri tetap bekerja walau kesehatan mental sedang menurun.
“Itu enggak gampang,” kata Irma. “Profesi [wartawan] juga manusia, punya keluarga, punya masalah sendiri, tapi dituntut untuk tetap bekerja independen.” Salah satu yang paling jadi tantangan baginya adalah sikap pemerintah Bali yang kurang transparan terkait penanganan Covid-19. Pada saat bersamaan, publik memerlukan informasi akurat dan cepat.
“Semua pejabat yang awalnya mau bersuara detil, sekarang jadi susah dihubungi karena ada alasan satu pintu,” ujarnya. “Kadang sampai bingung sendiri harus nulis kayak gimana karena pertanggungjawabannya ke masyarakat atau publik. Keliru nulis saja, bisa bahaya.” Irma akhirnya berharap layanan kesehatan mental bagi para pewarta menjadi fasilitas dasar di kantor-kantor media.
Stres yang dipicu oleh situasi politik atau kebijakan pemerintah sebenarnya bukan hal baru. Di Amerika Serikat, Robert Wood Johnson Foundation mendapatkan temuan menarik pada 2014 lalu. Bagi hampir 40 persen responden di Negeri Paman Sam, politisi dan pejabat pemerintah adalah sumber rasa stres. Lebih dari 30 persen responden mengaku membaca berita soal kondisi politik jadi penyebab berikutnya.
Warga Indonesia di luar negeri juga merasakan stres serupa ketika mendengar hiruk-pikuk politik di Tanah Air. Salah satunya adalah Herdiani, perempuan asal Surabaya yang kini tinggal di Swiss.
“Sekalipun kita enggak di Indonesia, tapi keluarga kan di Indonesia. Masa mau enggak pusing mikirin dampaknya buat keluarga di Indonesia?” tutur Herdiani, yang mengaku suatu saat ingin kembali ke tanah kelahirannya.
Beragam masalah dalam negeri membuatnya sering mengamuk setiap membaca berita. “Yang bikin sering pusing tuh nuansa politik yang enggak menentu, misal kemarin Prabowo masuk [jadi] Menhan, lalu pemerintah enggak ada oposisi—itu aku pusing juga check and balance-nya gimana?” ungkapnya.
Politik juga yang membuat banyak orang sulit fokus dan tidak akur lagi dengan orang-orang di dekat mereka. Survei Gartner pada awal 2020 menyimpulkan sebanyak 47 persen orang Amerika Serikat tidak bisa menyelesaikan pekerjaan, karena terdistraksi oleh berita-berita soal pemilihan presiden.
Bahkan, perbedaan pandangan politik membuat 36 persen responden pilih tak berkomunikasi dengan rekan kerja mereka. Ini berdampak kepada kolaborasi di kantor yang kemudian mempengaruhi produktivitas organisasi.
Karena itulah Izar, seorang wiraswastawan, merasa orang yang terlalu meluangkan waktu memikirkan urusan politik dan pemerintahan bersikap konyol. Apalagi kalau sampai membuat hubungan dengan orang lain rusak.
“Kayak orang yang ngotot benci banget sama Jokowi atau benci banget sama Prabowo waktu Pilpres kemarin, kalian tuh ngapain sih? Kalian bakal dapat apa?” kata dia. Lucunya lagi, ternyata kini Prabowo justru ada di lingkaran terdekat Sang Presiden.
Sikap tidak peduli Iqbal, karyawan swasta, juga sebenarnya dilatarbelakangi kekecewaan terhadap segenap elit pemerintahan. Dia menilai percuma memikirkan negara ketika negara tidak memikirkan dirinya. Menurutnya, kemampuannya berjuang lah yang membuatnya bisa bertahan hidup. Mengurusi politik sama dengan membuang waktu.
“Jika tempat kerjaku ini terpaksa PHK aku karena aturan pemerintah, mungkin aku tetap bodo amat,” ujarnya. “Aku bakal move on dan cari tempat kerja lebih baik karena percuma mau ngomel ke pemerintah. Demo ratusan ribu aja enggak digubris, malah disindir sumbangsih, apalagi seorang diri?”
Bukan hanya orang-orang di luar pemerintahan yang stres karena kelucuan para pejabat. Kirana (bukan nama sebenarnya) sudah lima tahun menjadi Pegawai Negeri Sipil dan sangat kenyang dengan tingkah-laku aneh-aneh yang ditunjukkan atasannya.
“Biasanya lebih mengarah ke frustrasi, kecewa, enggak percaya, gemas pengin gigit, garuk-garuk kepala padahal enggak gatal,” kata dia saat ditanya bagaimana rasanya jadi bagian dari salah satu institusi negara yang mentereng. Perasaan itu paling sering muncul ketika rapat untuk membahas program atau kebijakan.
Dia juga mengaku kadang harus menerima arahan yang dipaksakan demi atasan senang. “Nanti efek kedepannya bagaimana, yang penting ‘iyain’ aja dulu,” tambahnya.
Michelle Riba, seorang psikolog dari University of Michigan, menyebut stres karena kondisi politik adalah hal yang nyata. Beberapa tanda yang wajib diperhatikan antara lain yaitu meningkatnya tekanan darah, sulit tidur, perubahan mood yang cepat, dan kerap muncul perasaan was-was.
Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan mengurangi konsumsi berita seperti pada pagi hari. “Memang penting untuk sadar atas apa yang sedang terjadi di negara ini dan di dunia, tapi kamu perlu menjaga diri sendiri dan kesehatan mentalmu juga,” kata Riba.
Sementara menurut psikolog Kasandra Putranto yang berpraktik di Jakarta, belum ada pasien yang secara spesifik datang kepadanya karena stres terhadap pemerintah maupun politisi. Dia pun menyarankan bagi profesi yang tidak bisa lepas dari konsumsi berita politik, misalnya wartawan, “segera berkonsultasi dengan psikolog ketika perasaan itu timbul.” Artinya, perusahaan media sudah sewajarnya menyediakan layanan kesehatan mental bagi para karyawannya.
Bila gejala sosial macam ini tak kunjung diatasi, ujung-ujungnya yang rugi justru politikus. Sebab, yang terjadi nantinya apatisme, sehingga potensi terjadinya golput bisa kian besar.
Contohnya Putri yang mengaku pernah menyesal telat mendaftar dan memaksakan diri terbang dari Bali ke Sidoarjo untuk mencoblos kandidat pilihannya saat Pilpres 2019. Gara-gara pusing melihat berbagai kebijakan pemerintah, dia menganggap tindakannya tahun lalu amat naif.
“[Mending dulu] pakai uangnya buat liburan ke Nusa Ceningan, karena menurutku kalau enggak milih akan sedikit patah hatinya,” celetuknya.