Home Uncategorized Suka Duka Belajar Ikhlas Bagi Para Lelaki yang Mulai Botak di Usia...

Suka Duka Belajar Ikhlas Bagi Para Lelaki yang Mulai Botak di Usia Muda

393
0
suka-duka-belajar-ikhlas-bagi-para-lelaki-yang-mulai-botak-di-usia-muda

Kebotakan merupakan salah satu sumber utama timbulnya rasa insekyur pada kaum adam, walau perubahan tekstur rambut tak terelakkan seiring bertambahnya usia. Rambut manusia secara perlahan akan menipis dengan sendirinya sebagai tanda tubuh mengalami penuaan. Sekitar 40-50 persen laki-laki diketahui akan kehilangan sebagian besar rambut mereka begitu memasuki usia 50-an.

Namun, kebotakan juga dapat terjadi karena faktor keturunan, sehingga ada orang-orang yang mengalami rontok parah hingga botak di usia muda. Beberapa laki-laki bahkan mulai gundul saat mereka masih sekolah. Kondisi ini dapat menurunkan rasa percaya diri seseorang terhadap penampilannya.

VICE mendengar cerita tiga pemuda yang harus menerima kenyataan rambut mereka takkan tumbuh kembali. Seberapa besar pengaruh kebotakan dini dalam hidup mereka? Simak kisah mereka berikut ini.

‘Harusnya saya cukur rambut dari dulu!’

Lelaki gundul bermata biru pakai kalung emas

Jeroen van Nieuwpoort. Foto: Chris dan Marjan

“Rambut saya sudah bermasalah sejak kecil, dan mulai rontok saat saya baru 17 tahun. Saya semakin yakin akan botak setelah kerontokannya bertambah parah di usia 18. Rambut paman saya juga tipis, jadi saya rasa ini faktor genetik.

Saya awalnya kesal harus mengalami ini. Di saat teman-teman memamerkan model rambutnya yang stylish, rambut saya malah rontok. Saya tidak bisa mengubah gaya rambut seperti mereka. Beruntungnya, semua teman saya orangnya baik. Mereka tidak pernah mengata-ngatai rambut saya, paling banter cuma meledek. Itu pun tidak serius. Tapi memang, ada kalanya saya tersinggung kalau candaannya sudah kelewatan.

Saya mulai minder di usia 18, sebagian besar karena takut takkan ada perempuan yang menyukai cowok botak seperti saya. Itulah kenapa saya selalu memakai topi ke mana-mana.

Orang tua mau mendengarkan keluh kesah saya. Bahkan ayah ibu menawarkan saya untuk melakukan transplantasi rambut. Kalau dipikir-pikir, transplantasi tidak akan menjadi solusi, jadi saya menolaknya.

Saya baru siap menggundulkan kepala beberapa tahun lalu. Begitu saya melihat hasil cukur, saya langsung membatin, ‘Kalau tahu gitu, saya cukur rambut dari dulu!’ Ternyata kepala gundul cocok buat saya. Orang-orang juga memuji penampilanku.

Saya masih sering pakai topi, tapi sekarang bukan karena malu. Saya memakainya karena suka. Pada kenyataannya, masih ada cewek yang naksir meski saya gundul.” – Jeroen van Nieuwpoort, 28 tahun, supervisor

‘Saya tetap pede dengan kepala botak.’

Lelaki kulit HItam berambut cepak

Vinoud Douglas. Foto: Chris dan Marjan

“Ketika saudara laki-laki mengalami kebotakan, orang tua saya bilang hal itu juga akan terjadi padaku. Saat itu, umur saya baru 20. Laki-laki di keluarga besar saya memang cepat botak secara turun-temurun. Saudara saya sampai transplantasi rambut di Turki. Saya bisa saja melakukan hal yang sama, tapi saya tidak mau. Saya tidak terlalu mengkhawatirkan penampilan.

Rambut saya dulu sangat tebal, tapi mulai rontok ketika saya berusia 23. Tidak begitu kentara awalnya, sampai akhirnya bagian tengah kepala saya botak. Barulah dari situ saya menyesuaikan gaya rambut.

Saya cukur rambut sebulan sekali biar tetap rapi, karena rambut di bagian samping cepat sekali tumbuh. Tukang cukur memberi saran untuk menyemprotkan spray di bagian yang botak. Kelihatannya agak aneh setelah dicoba.

Saya memangkas rambut sendiri kira-kira enam bulan lalu. Jujur, saya sempat bimbang, tapi sekarang sudah tidak peduli. Saya jadi lebih hemat sejak punya rambut cepak. Gak perlu cukur setiap bulan.

Saya tetap pede meski botak. Saya harap para laki-laki di luar sana tak perlu lagi takut membicarakan penampilan mereka.” – Vinoud Douglas, 26 tahun, manajer proyek

‘Saya dulu minder karena botak, tapi sekarang saya menganggapnya unik.’

Lelaki botak bermata biru. Alis dan jenggotnya pirang

Rens Peters. Foto: Chris dan Marjan

“Saya sering merasa kasihan setiap melihat laki-laki menutupi kepala mereka yang nyaris botak pakai topi. Akan tetapi, saya juga memahami perasaan mereka, terutama setelah rambut saya rontok di usia 19.

Kerontokan yang saya alami cukup parah, dan kondisi ini benar-benar membuat saya insekyur. Perasaan saya baru tenang ketika tahu ada teman saya yang sudah botak. Saya berusaha mengakali kebotakan ini, tapi yang bisa saya lakukan cuma transplantasi rambut.

Orang mengalami kebotakan karena folikel rambutnya sudah rusak atau mati. Sebetulnya ada obat untuk memperlambat proses ini, tapi efek sampingnya menakutkan. Kalau saya pribadi, saya menaburkan bedak ke rambut biar kelihatan lebih tebal. Tapi saya sadar cara itu takkan menumbuhkan rambut.

Saya woles aja kalau teman yang meledek rambutku, dan baru akan marah kalau hinaannya datang dari orang tak dikenal. Contohnya seperti saat saya berkenalan dengan cewek di pesta. Kami sedang ngobrol seru ketika tiba-tiba seorang laki-laki datang menghampiri kami dan sengaja menyinggung soal bagian kepala saya yang botak di belakang. Saya dan kenalan hanya bisa tertegun.

Saya mendadak terpikir mencukur habis rambut saat liburan bersama teman-teman. Usia saya 23 tahun saat itu. Saya pribadi kurang menyukainya, tapi teman-teman memuji penampilan saya.

Saya mencoba memanjangkan rambut lagi, tapi malah jadi jelek. Akhirnya pacar saya menawarkan untuk mencukurnya. Saya dulu minder karena botak, tapi sekarang saya menganggapnya unik. Pacar bahkan bilang saya lebih keren gundul.” – Rens Peters, 26 tahun, guru dan mahasiswa pascasarjana.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.

Follow Milou Deelen di Twitter.