Charlie Hebdo kembali berulah. Media satir dari Prancis itu mengumumkan rencana cetak ulang kartun mengolok-olok Nabi Muhammad yang pernah memicu serangan teror ke kantor redaksi mereka. Kartun tersebut terbit dalam edisi Rabu 2 September 2020, memicu keresahan banyak pihak karena dikhawatirkan dapat kembali menyulut reaksi keras kaum Islam radikal.
Redaksi Charlie Hebdo sengaja mencetak ulang kartun itu di hari yang sama dengan momen pengadilan 14 orang yang didakwa membantu aksi teror ke kantor mereka pada Januari 2015. Kala itu, kantor Charlie Hebdo dan sebuah supermarket di Ibu Kota Paris diserang oleh teroris yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Dalam tajuk utama tabloid yang memuat ulang kartun kontroversial tersebut, Charlie Hebdo menulis “berbagai kekejaman terjadi gara-gara gambar ini.”
Kartun ini digambar oleh ilustrator Cabu (bernama asli Jean Cabut), yang ikut tewas ditembak teroris pada 2015. Pelakunya adalah kakak-beradik Saïd dan Chérif Kouachi. Mereka membawa senapan serbu, lalu memberondong orang-orang di kantor tabloid tersebut. Sebanyak 12 orang tewas, mencakup 9 anggota redaksi, satu petugas cleaning service, dan dua polisi.
Kartun mengolok-olok junjungan umat muslim itu sebetulnya sudah terbit pertama kali pada Februari 2006. Menggambar sosok nabi terlarang dalam ajaran Islam. Namun beberapa media barat berpegang pada nilai kebebasan ekspresi, sengaja menayangkan kartun provokatif semacam itu. Selain Charlie Hebdo, surat kabar Denmark Jyllands-Posten pada 2005 lebih dulu memicu gelombang unjuk rasa di berbagai negara muslim karena membuat gambar Nabi Muhammad mengenakan bom sebagai turban.
Direktur Utama Charlie Hebdo, Laurent “Riss” Sourisseau, menulis tajuk rencana soal alasan mereka nekat mencetak ulang kartun tersebut. Dia bilang, momen pengadilan para terdakwa yang terlibat penyerangan kantor mereka merupakan penyulut keputusan redaksi. Keempat belas terdakwa itu diduga jaksa membantu para teroris pada 2015 dengan menyediakan tempat tinggal, mobil sewaan, hingga memasok senjata api.
“Kami tidak akan pernah tiarap dan menyerah memperjuangkan kebebasan ekspresi,” tulisnya. “Sejak lama para pembaca kami sudah mendesak redaksi agar mencetak ulang kartun tersebut. Kami bukannya takut, tapi merasa butuh alasan kuat untuk melakukannya. Pengadilan para terdakwa adalah momen tepat untuk menghadirkan kembali debat publik mengenai pentingnya kebebasan berekspresi.”
Charlie Hebdo sudah pernah dibom pada 2011, juga gara-gara menerbitkan kartun yang melecehkan sosok rasul utama umat muslim. Akibat geger yang dipicu kartun Charlie Hebdo, pemerintah Prancis sempat menutup sekolah internasional dan kedutaan di lebih dari 20 negara mayoritas muslim karena khawatir menjadi sasaran kelompok radikal.
Tindakan Charlie Hebdo disesalkan pengamat intelijen dan kontraterorisme Colin P. Clarke, dari The Soufan Center New York. Saat diwawancarai VICE News, dia menyatakan reaksi negatif sudah pasti muncul dari penganut Islam dan tidak ada jaminan kali ini penerbitan ulang kartun tersebut bebas dari kemungkinan aksi balasan kaum radikal.
“Kartunnya sendiri sejak awal sangat provokatif dan memang sengaja menghina agama Islam,” kata Colin. Dengan situasi dunia yang lebih terkoneksi Internet, kartun Charlie Hebdo bisa lebih cepat viral dan menyebar lewat medsos. Colin menyesalkan keputusan redaksi, karena kartun semacam ini justru dipakai oleh jaringan teroris untuk merekrut anggota potensial serta mendiskreditkan negara-negara Barat seakan-akan bangsa yang akan selalu memosisikan diri musuh Islam.
“Saya paham bahwa publikasi seperti Charlie Hebdo dilindungi oleh aturan kebebasan berekspresi di Prancis. Namun tema yang diangkat jelas-jelas kontraproduktif terhadap nilai-nilai demokrasi yang konon mereka usung,” imbuh Colin.
Kementerian Luar Negeri Pakistan segera mengecam keputusan Charlie Hebdo menerbitkan ulang kartun tersebut. “Kartun yang secara sengaja menyinggung sentimen miliaran umat Muslim sedunia tidak bisa dibenarkan sebagai praktik kebebasan pers atau kebebasan berekspresi,” kata jubir Kemenlu Pakistan. Pada 2015, ketika kartun itu pertama kali terbit, unjuk rasa besar-besaran terjadi di Pakistan, melibatkan puluhan ribu demonstran.
Sepanjang akhir pekan ini, ketegangan melibatkan umat muslim kembali menyeruak di Eropa. Salah satunya adalah kerusuhan di Kota Malmö, Swedia, akibat tindakan seorang aktivis kulit putih sayap kanan yang membakar Al Quran di dekat masjid setempat.
Colin menyatakan, media provokatif seperti Charlie Hebdo kini dijadikan simbol perlawanan oleh gerakan sayap kanan Eropa, terutama yang mengusung ideologi supremasi kulit putih. Gerakan radikal macam ini selalu tertarik membuktikan kalau Islam bukan agama damai.
“Yang terjadi akhirnya radikalisasi resiprokal, kelompok sayap kanan nasionalis dan agama saling memanfaatkan situasi untuk merekrut anggota baru lewat provokasi macam ini.”
Artikel ini pertama kali tayang di VICE News