Home Uncategorized Tak Sekadar ‘One Hit Wonder’: Kisah di Balik Lagu-Lagu Indonesia Super Populer

Tak Sekadar ‘One Hit Wonder’: Kisah di Balik Lagu-Lagu Indonesia Super Populer

644
0
tak-sekadar-‘one-hit-wonder’:-kisah-di-balik-lagu-lagu-indonesia-super-populer

Daniel Adriano Saba bergegas mengambil Walkman dari tasnya. Ia sekonyong-konyong menemukan melodi bagus kala bersenandung acak di dalam taksi. Kala itu, dia setia membawa dua Walkman ke mana-mana. Satu untuk mendengar musik, satu untuk merekam ide lagu. Kebiasaan ini dibentuknya karena boyband yang ia ikut dirikan sedang mempersiapkan album kedua. Tuntutan label rekaman baru meminta tiap personel menyumbang lagu ciptaan. Tak mau kehilangan momen, Denny, nama panggilannya, menciptakan keadaan agar setiap inspirasi yang menyapanya tanpa permisi bisa segera kekal terdokumentasi.

Amat victory curam, kemenangan datang kepada mereka yang bersiap. Ide yang datang di taksi itu ia perlakukan sebagaimana ide-ide lain: tersimpan di alat perekam untuk nanti dikunjungi lagi. Denny tak membayangkan sedikitpun bahwa momen sore itu adalah cikal bakal salah satu karya populer terbesar sepanjang masa.

“Karena dikejar setor lagu, saya dengerin lagi isi kaset khusus rekaman ide itu. Saya nyantol langsung ke melodi verse dan reff [yang saya ciptakan] sore itu di taksi. Terus saya mikirin ini liriknya apa ya. Lucunya, kalau saya bikin lirik itu kan biasanya lama gitu, ya. Lagu ini enggak [lama]. Langsung dapat lirik reff inikah namanya cinta/ oh inikah cinta/ cinta pada jumpa pertama,” kenang Denny kepada VICE. 

Terciptanya lirik untuk verse juga ngalir gitu aja. Bagian saat kujumpa dirinya / di suatu suasana disebut Denny langsung hadir. Penjelasan tentang mengapa pembuatan satu lagu bisa bertahun-tahun, sementar lagu lain bisa hanya sepuluh menit sudah sering dialami mayoritas pencipta lagu. Denny, seperti penulis lagu lain, pun tidak bisa menjelaskan fenomena ini selain dengan sebutan campur tangan Tuhan. Lagu terbesar yang ia buat adalah karya tercepatnya.

Begitu lirik dan melodi sudah solid, ia bawa lagu itu ke hadapan boyband-nya, eMbung Eleh alias M.E. Bermodalkan genjrengan gitar, aransemen vokal dibuat. Format lagu sederhana verse 1 – reff 1 – verse 2 – reff 2 selesai. Pada satu momen latihan, personel lain sempat menganggap lagu terlampau sederhana. Ide modulasi dicetuskan. Modulasi adalah pergantian tangga nada dalam sebuah lagu yang biasanya bertujuan menambah momen klimaks. Denny menolak, ia menganggap lagu ini memang harusnya simpel, tak perlu kosmetik lagi. 

Materi album diperdengarkan kepada mendiang Itje Komar, produser eksekutif album kedua M.E dari label Ariola Records yang juga ibu dari Amaranggana dari trio vokal Lingua (“Bila Ku Ingat”, 1996). Ariola saat itu masih menjadi sub-label Bertelsmann Music Group (BMG) sebelum kelak jadi anak perusahaan Sony Music Entertainment. Selesai presentasi, hati Itje tertaut pada “Inikah Cinta”. Iwang Noorsaid (God Bless, Iwan Fals) segera didapuk jadi produser musik. Lewat satu kali revisi, materi yang diproduseri Iwang terasa memuaskan.

Itje kemudian memperdengarkan lagu ke beberapa jejaring, salah satunya kepada grup musik Kahitna. Hubungan baik antara keduanya sudah bisa diterka karena Yovie Widianto, pendiri Kahitna, adalah pencipta lagu “Bila Ku Ingat”. Sementara, Carlo Saba, vokalis Kahitna, adalah kakak kandung Denny. 

WhatsApp Image 2021-11-11 at 5.21.10 PM (1).jpeg

M.E di masa jayanya jelang akhir 1999. Foto dari arsip Denny Saba

Namun, di balik keterkaitan antara M.E dan Kahitna itu, justru komentar Dody Isnaini, basis Kahitna, lah yang paling mempengaruhi arah aransemen lagu, “Dia [Dody] bilang ke Mami [Itje] ‘coba bilangin ke Denny, bikin bridge-nya. Kalau ditambah bridge pasti lebih bagus’,” ucap Denny menirukan percakapan. 

Mendengar saran tersebut, Denny luluh. Maka terciptalah bagian ikonik rindu terasa/di kala hati ini ingin jumpa/ingin selalu bersama/bersama dalam segala suasana. Begitu bridge selesai dibuat, struktur lagu berubah. Perubahan ini menuntut ide kosmetik yang sebelumnya tertolak untuk hadir, demi membuat lagu mencapai potensi maksimal. “Inikah Cinta” tidak hanya diberi satu, namun dua kali modulasi pada reff terakhir.

Sisanya adalah sejarah. Lewat lagu ini, M.E menyabet penghargaan Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards 1998 dalam kategori grup vokal terbaik genre Rhythm and Blues (R&B), sementara Denny berjaya di genre sama di kategori Pencipta Lagu Terbaik.

Mendengar cerita sukses Denny dan M.E lewat “Inikah Cinta”, tak salah kalau pembaca berpikiran bahwa resep menciptakan lagu superhit adalah kerjasama harmonis antara label, produser, pencipta lagu, penyanyi, dan jejaring musisi.

Tapi, saya yakin Jalu Hikmat Triadi hanya akan tertawa mendengar asumsi macam itu.

Mari berpindah ke 2008.

Lewat moniker sind3ntosca (dengan huruf ’s’ kecil dan angka ‘3’ menggantikan huruf ‘e’), Jalu sukses merajai tangga lagu radio Jakarta bermodal single “Kepompong”. Momen lepas landas ini dirayakan Jalu dengan sukacita. Akhirnya, karya musisi asal Bandung itu tersebar keluar kota asalnya, buah hasil belajar bermusik sejak satu dekade sebelumnya siap dipetik. Radio Prambors mendapuknya di peringkat satu chart NuBuzz selama tiga bulan berturut-turut. Bisa dibilang, sind3ntosca adalah artis besar selanjutnya di Tanah Air.

“Aku punya sepupu cewek namanya Ree. Dia drummer di sind3ntosca. Lagu ‘Kepompong’ ini inspirasinya dari momen kami ribut, musuhan, tapi lama-lama kangen lagi, baikan, introspeksi diri dan berharap jadi lebih baik. Makanya, aku analogikan kayak ulat yang bikin gatel berproses melalui kepompong untuk menjadi kupu-kupu yang indah,” cerita Jalu saat dihubungi VICE.

Jalu adalah musisi “se-indie-nya indie”. “Kepompong” bermula dari genjrengan gitar sederhana dan vokal tanpa lirik yang dibuatnya pada 2001. Ide tersebut kemudian diutak-atik di perangkat lunak Cakewalk Pro Audio 9 sebelum dipindah ke Fruity Loops. Jalu mencipta notasi gitar, pola drum, dan alur bas seorang diri, lalu memainkannya sendiri pula menggunakan MIDI controller. “Semua di kamarku dengan alat seadanya. Dulu boro-boro punya duit buat beli alat bagus,” kenang Jalu sambil terkekeh.

Kesuksesan “Kepompong” di radio membuat sind3ntosca dapat penawaran masuk album kompilasi bersama musisi-musisi independen lain oleh sebuah label rekaman di Jakarta. Kata Jalu, ia sepakat karena label mengatakan aransemen “Kepompong” tidak akan diubah sehingga tidak perlu direkam ulang. Jalu mengklaim labelnya mengingkari janji.

“Aku [tiba-tiba] disuruh take vokal ‘Kepompong’ ke Jakarta biar lebih bagus katanya. Aku setuju aja karena niatnya oke. Tapi sesampai di studio, aku disodorin aransemen ‘Kepompong’ yang baru. Kaget lah. Di situ aku tersinggung dan kesal,” tuturnya. “Mereka sekonyong-konyong bikin aransemen baru dan aku mesti nyanyi saat itu juga. Setidaknya minta izin dulu lah sama yang punya lagu, syukur-syukur kalau ngajak aransemen bareng-bareng.”

Karena sudah kadung ke Jakarta, ditambah rasa penasarannya sebagai musisi independen untuk bekerjasama dengan orang lain, ia menerima perlakuan label dengan satu syarat: label mengadakan pertandingan “Kepompong” versi asli dengan versi label dalam satu segmen radio, lalu pendengar diminta voting untuk menentukan lebih suka yang mana. Label setuju. 

Hasilnya: 9 pendengar beri suara ke aransemen label, 29 orang memilih aransemen asli.

IMG_2869.JPG

Jalu sind3ntosca nyaris sendirian mengaransemen dan merekam semua musiknya. Foto dari arsip pribadi

“Aku tenang tuh, [mikirnya] nanti di [album] kompilasi yang dimasukkin tetap yang versi asli. Waktu berselang, akhirnya CD kompilasi rilis. ‘Kepompong’ yang dimasukin malah versi aransemen label. Siapa yang enggak gondok coba?” ucap Jalu mengenang masa-masanya menjadi, meminjam istilahnya, sapi perah industri hiburan. “Di situ aku belajar dunia hiburan ini penuh tipu muslihat. Orang awam seperti aku bukan dibantu jadi paham, tapi malah dikerjain. Misalnya, pas kontrak sinetron pakai lagu ‘Kepompong’ [versi label] saat itu, aku enggak dapat sepeser pun. Nol. Nada. Zero. Alasannya [uangnya] buat promo lah bla-bla-bla.”

Kalau Anda pendengar awam yang enggak ngikutin sind3ntosca, pasti mulai berpikir ‘Kepompong’ yang didengar selama ini adalah versi yang mana ya? Nah, silahkan cek sendiri. Versi label bisa didengar di tautan ini, sedangkan versi asli terpajang di sini. *Spoiler: mayoritas pembaca mungkin mengenal sind3ntosca lewat versi lagu yang justru disesalkannya.

Hubungan musisi dengan label yang tidak dimulai dengan baik membuat Jalu seakan tersiksa saat harus memenuhi tuntutan promosi lagu, “Pas awal aku disuruh tampil di Dahsyat, pertama kalinya aku tampil di tivi. Aku nolak. Label udah pusing karena aku enggak mau [tampil]. Aransemen lagunya aja bukan punyaku. Label kemudian mohon-mohon banget karena ini jelas jadi duit dan eksposur buat promo label. Akhirnya aku mau dengan syarat bawa sepupuku namanya Selly buat main gitar.”

Dari penampilan tersebut, lama-kelamaan Jalu mulai menerima keadaan meski enggak suka aransemennya. “Telen aja udah. Aku fokus sama hal-hal positif aja. Selama aku show sana-sini jadi bisa ketemu artis-artis dan musisi besar, kenal sama orang-orang hebat.”

Bisa dilihat, hubungan sind3ntosca dan label bertolak belakang dengan hubungan M.E dan labelnya. Namun, peran label nyatanya masih krusial dalam proses meledaknya kedua lagu musisi tersebut. Apa memang label memang faktor terpenting kepopuleran lagu di masa-masa itu? Sebelum menjawabnya, mari kita berpindah ke cerita Raindy Aditya Maramis.

Masa SMA sekitar tahun 2000, Rendi, sapaan akrabnya, bersama kawannya, Benny Navaro, menciptakan lagu “Sahabat jadi Cinta” gara-gara lelah memendam perasaan sama teman sebangku. “Mungkin kami tadinya sahabatan, tapi kok lama-lama jadi nyaman,” kata Rendi mengawali cerita ke VICE. Sayang, doi enggak berani menyatakan cinta ke sahabatnya itu karena takut, sebuah gelut hati yang wajar dialami para korban zona teman. Yaudah, ekspresi perasaan lantas ia tumpahkan dalam lagu.

Membaca Kahlil GIbran, Rendi menyebut dirinya terpengaruh “bahasa-bahasa langit” dari sang sastrawan. Terciptalah lirik puitis macam tak bisa hatiku menafikkan cinta/ karena cinta tersirat bukan tersurat.

Lompat waktu ke 2005, Rendi sedang bergabung dengan band bernama Zigaz yang tengah menggarap album pertama. Materi album yang saat itu masih dianggap kurang solid memantik motivasi Rendi untuk menyelesaikan lagu cinta monyet lima tahun sebelumnya. Kembali ia menyelami dunia Kahlil yang menghasilkan lirik aduhai bulan terdampar di pelataran/ hati yang temaram untuk verse lagu.

Lagu yang disusulin belakangan ini malah didapuk jadi single pertama dari album perdana. Argumen band: saat itu masih belum banyak lagu yang mengangkat hubungan cinta dari persahabatan. Pada 2009, album rilis tanpa naungan label. Virgo Records saat itu hanya bekerja sama dengan Zigaz untuk titip edar distribusi album. Hanya saja, Zigaz didukung sekelompok music director radio-radio yang membentuk manajemen musik untuk promosi lagu.

“Dulu, saya di Bogor [rutin] datang ke warnet untuk ngeliat chart radio. Pertama Zigaz meledak itu di Kalimatan. Saya ingat banget itu di [Kota] Tarakan. Baru dari sana menyebar di pulau-pulau lain. Salah satu yang membuat kami besar itu Mustang [radio] waktu masih ada program artist of the month,” tutur Rendi. 

Dari sana, efek bola salju mengambil alih nasib. Zigaz dipanggil pertama kali ke tivi di acara Derings Trans TV. Melihat rating acara bagus saat ada Zigaz, band ini dipanggil kembali sebelum akhirnya turut bersafari ke stasiun tivi lain. “Lalu, kami terbantu juga untuk naik ketika ada sinetron Angels Diary yang makin membuat itu [lagu ‘Sahabat jadi Cinta’] makin terkenal.”

Rendi ingat pertama kali momen magis saat manggung di sebuah sekolah setelah “Sahabat jadi Cinta” mulai menggaung di radio. Begitu sadar penonton menyanyikan lagu ciptaannya itu dengan sukacita, badan Rendi mendadak kaku. “Saya sampai balik badan, enggak bisa mencet gitar. Pas penonton nyanyi reff, saya nangis ngadep belakang. Saya bertanya dalam hati ‘kok bisa begini?’”

WhatsApp Image 2021-11-11 at 5.40.38 PM.jpeg

Formasi Zigaz yang terkini. Foto dari arsip pribadi.

Bisa dibilang, dengan atau tanpa label, akses promosi ke acara tivi dan radio, dua jenis media yang menentukan apa yang populer dan apa yang tidak saat itu, jadi kunci paling utama popularitas lagu setidaknya sampai 2010-an. 

Itje Komar adalah bagian dari Nuansa Musik dan Delta (Deretan Lagu-lagu Teratas) di RCTI, membuat video klip “Inikah Cinta” hampir setiap waktu berseliweran di dua acara tersebut Kemewahan ini tak mereka dapatkan kala berada di label berbeda saat M.E menggarap album pertama. Keliling radio-radio sebagai bentuk promosi juga tak absen dilakukan M.E baik di Jakarta maupun di kota lain. Lewat cara-cara yang berbeda, akses kepada radio dan tivi juga didapat sind3ntosca dan Zigaz.

Pada masa jaya masing-masing lagu, Benny mengaku bisa manggung empat kali seminggu, Rendi mengaku punya agenda band setiap hari di berbagai kota selama tiga tahun berturut-turut, dan Jalu mengaku sampai diminta menghibur penonton televisi tiga kali sehari.

Selain vonis “lagu kamu jelek”, terminologi yang sejujurnya terasa tidak adil bagi musisi adalah istilah “one-hit wonder”. Pertama, karena penyematan istilah tersebut kerap dibarengi pandangan seolah-olah musisi tertentu cuma “berhasil satu kali” meski daya upaya artistik yang dikeluarkan pada setiap karya sama besarnya.

Kedua, kalau tolak ukurnya adalah popularitas di konsumen arus utama, mengapa penyematan one-hit wonder harus dibebankan ke musisi? Bukankah yang gagal mempopulerkan lagu adalah mereka yang melakukan kerja-kerja promosi, dalam konteks ini, label dan/atau manajemen?

Saya kerap menemukan nama M.E, Zigaz, dan sind3ntosca dalam daftar-daftar macam ini. “Inikah Cinta”, “Sahabat jadi Cinta”, dan “Kepompong” didapuk sebagai yang tersukses dan satu-satunya. Ketiga lagu tersebut begitu menjulang ke langit, menciptakan jarak jomplang bagi lagu-lagu lain dari masing-masing musisi yang sebenarnya cukup populer, tapi “enggak sampai segitunya”.

Saat saya tanyai seputar istilah ini, ketiganya menunjukkan sikap sama: ogah ambil pusing.

Benny menilai album kedua M.E. sangat memuaskan. Berhasil memenuhi tuntutan untuk patungan lagu dari semua personel, mereka berkembang sebagai seorang seniman dan sampai hari ini masih terus bangga dengan album tersebut meski hanya satu lagu yang menembus pasar luas. 

“Ada mikir disayangkan juga, tapi ada bersyukur juga [disebut one-hit wonder]. Sampai generasi sekarang lagu itu masih dikenal dan kami bersyukur, loh. Enggak semua musisi bisa seperti itu.  Ada rasa kecewa karena mungkin promosi [album] enggak di-push lagi setelah [lagu] itu karena setelah [rilis] album, enggak lama kami pecah.”



Jalu mengaku awalnya tak suka sebutan itu. “Tapi lama-kelamaan nyadar, enggak semua musisi bisa dapat predikat itu lho. Walau dianggap cuma satu lagu doang yang hit, tapi level hit-nya enggak main-main. Aku patut bangga,” jawab Jalu. 

Rendi menyebut, dari ratusan lagu yang ia ciptakan, tidak ada masalah apabila ia hanya dikenal sebagai pencipta “Sahabat jadi Cinta”. “Artinya, ada salah satu karya saya yang bisa didengar seluruh masyarakat. Kalau bagi saya, semua lagu saya bagus dan hits. Yang penting aku tetep berkarya, tetap kreatif,” jawab Rendi. Meski tak bergerak di arus utama, daya cipta lagu Rendi masih menarik klien dari berbagai perusahaan untuk membuat lagu latar atau jingle perusahaan. 

Pada Desember 2019, Rendi memenangkan lomba cipta lagu Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) bersama sang adik. Hadiah Rp35 juta dikantongi. “Toh, buktinya saya masih bisa membuktikan diri di ajang kreatif lomba cipta lagu dan bisa jadi nomor satu meskipun bukan ‘Sahabat jadi Cinta’.”

Pertanyaan lanjutannya, apakah setelah menciptakan lagu yang begitu besar, mereka langsung kena tekanan, baik dari label maupun dari diri sendiri, untuk membuat karya yang juga sebesar itu?

“Kalau dari label pasti [menuntut]. Pengen kami bikin lagu yang hit-nya mirip-mirip ‘Inikah Cinta’. Tapi kan kami enggak tahu apakah lagu bakal hit atau enggak. Ada faktor beruntungnya juga di sana. Jadi, saya cuma bisa terus bikin lagi. Terlepas dari itu mau jadi hit atau enggak, saya balikkin ke Tuhan dan pendengar,” kata Rendi.

Zigaz, yang di album kedua sudah berada di naungan label, juga enggak luput dari tekanan. “Di situ, trik kontraknya adalah [mereka harus] bebaskan kami untuk berkreasi gitu. Hasilnya, [lagu-lagu setelah ‘Sahabat jadi Cinta] malah makin dewasa menurutku mulai dari suara, aransemen, sampai notasi. Cuma momennya saat itu enggak pas. Mungkin karena pas itu trennya udah boyband.”

Jalu mengaku setelah “Kepompong” booming, label minta ia merilis album yang musiknya kayak “Kepompong” semua. “Pas aku sodorin albumku ke label, mereka menolak karena lagu-laguku dianggap aneh dan beda dari pasar. Padahal, pasar bisa diciptakan dengan budget yang kuat hahaha..” kata Jalu terkekeh.

Selain sama-sama enggak peduli sama penyematan one-hit wonder dan tekanan sekeliling untuk membuat lagu hit selanjutnya, ketiga pencipta lagu ini juga punya kesamaan lain: gara-gara masih laris manis dipakai musisi cover, FTV, film, dan iklan, ketiganya masih sama-sama menikmati royalti lagu-lagu super populer yang mereka bikin sampai detik ini. Alhasil, berkat lagu yang awet membuat sampai hari ini, ada aja netizen yang menyapa personel M.E, Zigas, hingga sind3ntosca di media sosial untuk sekedar bernostalgia.

“Di kantor, ada [kolega] udah punya anak dan berterima kasih kepada saya. Katanya, karena lagu ‘Sahabat Jadi Cinta’, dia jadi berani nembak sahabatnya dan sekarang udah jadi istrinya,” cerita Rendi.

Mendengarnya, saya terenyuh. Lagu yang lahir karena penciptanya takut mengungkapkan perasaan ke sahabat, ternyata bikin pendengarnya jadi berani berbuat.


*Ikhwan Hastanto adalah jurnalis sekaligus musisi kelahiran Lampung yang kini bermukim di Jogja. Follow dia di Twitter