Home Uncategorized Taktik Seorang Pemuda Nekat Sampai Kanada dari Asia Tenggara Tanpa Naik Pesawat

Taktik Seorang Pemuda Nekat Sampai Kanada dari Asia Tenggara Tanpa Naik Pesawat

650
0
taktik-seorang-pemuda-nekat-sampai-kanada-dari-asia-tenggara-tanpa-naik-pesawat

Para petualang sejati sudah merindukan traveling, tapi sayangnya masih belum bisa ke mana-mana. Banyak dari mereka memposting foto-foto lama ke Instagram untuk mengenang kembali momen liburan seru jauh sebelum pandemi melanda. Mahasiswa satu ini sama saja kayak mereka, tapi bedanya dia berkeliling dunia tanpa naik pesawat sama sekali.

Ganesha Balakrishnan baru berusia 20 ketika ide gila muncul. Lelaki asal Singapura itu sedang bingung harus ngapain setelah menyelesaikan wajib militer pada 2018. Berhubung kuliahnya di Kanada baru dimulai 10 bulan lagi, jadi tidak ada salahnya, dong, kalau dia berangkat saat itu juga lewat jalur darat? Hitung-hitung sekalian main ke negara lain.

Ganesha yang masih kecil bermimpi menjelajahi dunia setelah menonton acara traveling di televisi. Dia sempat ke Eropa sebelum mendaftar wamil. Di sanalah, dia menumpang mobil orang untuk pertama kalinya.

“Saya terpaksa menumpang karena kerampokan di Amsterdam, kota pertama yang saya kunjungi di Eropa. Saya mengantongi beberapa Euro saja waktu itu,” ungkap lelaki yang kini sudah 22 tahun. “Saya merasa itu sebuah petunjuk. Ternyata enak juga menumpang mobil orang. Saya jadi ketagihan.”

Pengalaman itu secara tidak langsung mempersiapkan Ganesha sebelum petualangan sembilan bulannya dari Singapura ke Kanada. Beberapa minggu setelah mendapat ide, dia berangkat sambil menggendong ransel berisi laptop, kamera DSLR dan beberapa helai pakaian. Perjalanannya dimulai pada November 2018.

“Saya ingin melakukan sesuatu yang jarang atau bahkan belum pernah dilakukan orang lain,” tuturnya.

Seraya membolak-balik paspor selama panggilan Zoom, Ganesha mengenang telah mengunjungi 23 negara hingga Agustus 2019. Dia bepergian dari satu tempat ke tempat lain hanya dengan naik kereta, bus, mobil dan kapal.

Lelaki itu bertolak dari Singapura menuju Malaysia, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam. Dia mengarungi Sungai Mekong dengan perahu sampai ke Tiongkok. Dari sana, dia jalan-jalan ke Korea Utara, lalu balik lagi ke Tiongkok untuk menjelajahi Asia Tengah. Baru setelah itu Ganesha pergi ke Eropa. Sesampainya di Jerman, dia naik kapal kargo melintasi Samudra Atlantik menuju Amerika Serikat. Dia kemudian bertemu orang tua di New York, dan berkendara ke Montreal. Dia sampai di Kanada tepat sebelum hari pertama kuliah.

Kru kapal kargo. Semua foto oleh Ganesha Balakrishnan.

Kru kapal kargo. Semua foto oleh Ganesha Balakrishnan.

Ganesha memegang uang harian sebesar 25 dolar Singapura (Rp264 ribu), sehingga dia bergantung pada penginapan gratis yang ditawarkan di situs couch-surfing.

“‘Couch-surfing’ sifatnya untung-untungan… Terkadang saya tidak menemukan host sama sekali,” dia berujar. “[Kalau sudah begitu], saya akan mencari hostel murah, atau menyewa tenda jika biaya penginapan melebihi uang harian. Saya kadang-kadang tidur di stasiun kalau lagi malas pasang tenda.”

Dia masih ingat betul betapa gerahnya menunggu berjam-jam di bawah panas terik sampai dapat tebengan.

Ganesha mencari tumpangan di Republik Ceko. Dia ingin pergi ke Slovenia.

Ganesha mencari tumpangan di Republik Ceko. Dia ingin pergi ke Slovenia.
Ganesha menunggu mobil lewat di tepi jalan di Turki.

Ganesha menunggu mobil lewat di tepi jalan di Turki.

Menurutnya, sebagian besar pengalaman couch-surfing sangat menyenangkan. Dia bisa menemui dan berkenalan dengan orang baru. Banyak yang tetap kontak-kontakan dengannya sekarang. Tapi ada kalanya tuan rumah bersikap menyebalkan. Bahkan ada juga yang membahayakan. Ketika dia berada di Tajikistan, tuan rumah sepertinya cemburu Ganesha janjian bertemu orang lain. Orang itu mengurungnya di kamar dan memutus jaringan hotspot selulernya.

“Insidennya terjadi sekitar pukul 7-8 malam. Saya tidak tahu orang lain akan bereaksi gimana, tapi saya memilih tidur saja. Saya bangun kira-kira pada pukul 2 pagi, dan dia [tuan rumah] masih tidur. Saya buru-buru mengemas barang, membuka jendela dan melarikan diri,” kenangnya.

Peristiwa itu tidak membuatnya takut untuk melanjutkan perjalanan. Dia memilih fokus pada segala hal yang dilihatnya sepanjang perjalanan, sekaligus mempelajari budaya dan orang-orangnya di setiap negara.

Ganesha nebeng di Istanbul, Turki.

Ganesha nebeng di Istanbul, Turki.

Dia menginap di rumah guru bahasa Inggris selama di Vietnam. Murid-muridnya mengajak Ganesha berkeliling kota Huế. Sementara itu, dia membantu mereka mengasah kemampuan berbahasa Inggrisnya. Dia tidak menemukan host di Beijing, sehingga harus berkemah di Tembok Besar Tiongkok. Padahal, saat itu sedang musim dingin. Dia party bersama anak muda di Iran, dan menginap di karavanserai selama di Bukhara, Uzbekistan. Bukhara berada di kawasan Jalur Sutra.

Berkemah di sebuah tempat terbengkalai di Tembok Besar Tiongkok.

Berkemah di sebuah tempat terbengkalai di Tembok Besar Tiongkok.
Pasar hewan di Kashgar, Tiongkok.

Pasar hewan di Kashgar, Tiongkok.
Bukhara merupakan kota penting di Jalur Sutra.

Bukhara merupakan kota penting di Jalur Sutra.

Yang paling seru dari petualangan ini adalah dia mengikuti ke mana saja kakinya melangkah. Tak pernah sekali pun dia membuat rencana tempat-tempat yang akan dikunjungi.

“Menariknya adalah kalian bisa saja tersesat. Kalian bisa melihat sisi lain yang tak pernah kalian duga dari suatu negara. Kalian bisa bertemu orang-orang yang mungkin tidak akan kalian temukan [jika tidak tersesat],” kata Ganesha.

Bertemu dengan warga lokal adalah kenangan favoritnya. “Meski Iran sedang krisis ekonomi, orang-orang di sana menjamuku dengan masakan mahal. Mereka menyuruhku makan tiga kali sehari,” dia menuturkan. “Saat saya mengunjungi desa di Kirgiztan, setiap penjaga toko memberikanku biskuit dan sapu tangan.”

Empat perempuan di Isfahan, Iran.

Empat perempuan di Isfahan, Iran.
Foto bareng petugas tol di Turki.

Foto bareng petugas tol di Turki.

Ganesha lebih mengenal dirinya sendiri di sepanjang perjalanan.

“Saya tipe orang yang kurang pede dan berani sebelum memulai trip. Saya jarang tertarik pada hal-hal di sekitar. Tapi sejak bertualang, saya sering memaksa diri [untuk melakukan apa yang tidak biasa dilakukan]. Dari sini, saya memahami bahwa batasan yang saya kira saya miliki sebenarnya tidak ada. Justru saya lah yang membatasi diri.”

Ganesha menerbitkan buku berjudul The Long Direction: A flightless journey from Singapore to Canada pada akhir tahun lalu. Dia juga membagikan foto-foto perjalanannya di Instagram dan Facebook.

Setelah menghabiskan liburan musim dingin di Singapura, Ganesha kembali ke Montreal untuk ujian. Meski tidak masalah dengan batasan-batasan new normal, dia sudah sangat menantikan hari di mana dia bisa bebas traveling lagi. “Saya ingin mengunjungi Kuba, Afrika Utara dan Afrika Barat. Saya juga kepengin melakukan perjalanan balik ke Singapura.”