Home Uncategorized The S.I.G.I.T, BAPAK, Laze: Rekomendasi Musik Indonesia Terbaik Jelang Resesi

The S.I.G.I.T, BAPAK, Laze: Rekomendasi Musik Indonesia Terbaik Jelang Resesi

614
0
the-sigi.t,-bapak,-laze:-rekomendasi-musik-indonesia-terbaik-jelang-resesi

Memasuki Agustus 2020, Indonesia justru bersiap menyambut musim pancaroba lain, berupa potensi resesi ekonomi. Empat bulan terakhir saja sudah terasa berat akibat PSBB. Sayangnya menurut perkiraan ekonom, pandemi berkepanjangan bakal menyulut kondisi yang lebih buruk; dari PHK massal, pemotongan gaji, hingga menyempitnya peluang kerja bagi fresh graduate universitas. Untuk mereka yang berusia di bawah 25 tahun, ini akan jadi memori pertama krisis ekonomi dalam hidup.

Para musisi di Indonesia sebagian menangkap mood yang depresif ini. Cukup banyak materi single baru dari kancah lokal yang menggambarkan kegelisahan, rasa frustrasi, bahkan gambaran akhir dunia selama kurun Juli-Agustus. Fenomena macam ini tentu wajar belaka. Mendiang Chrisye pernah merilis album bertajuk Resesi, di tengah suasana muram kelesuan ekonomi Indonesia akibat harga minyak anjlok pada 1983. Musik berkembang sesuai semangat zaman. Ketika kita semua memang tidak baik-baik saja, musisi tak perlu memaksakan diri menawarkan eskapisme.

“Soundchek”, kolom berisi sepilihan lagu-lagu Indonesia terbaik versi VICE sebulan terakhir, kali ini didominasi track-track yang nuansanya muram, meski tidak semuanya demikian. Tetap ada parade keindahan, serta ajakan untuk bergembira. Genre yang diwakili tetap beragam, mulai dari pop, hip hop, hingga metal. Semua nama-nama yang muncul dalam playlist ini kami anggap menghadirkan gagasan yang kuat, baik dari lirik maupun musikalitasnya.

Redaksi VICE berharap pembaca sekalian tetap saling jaga dengan orang-orang yang terkasih menjelang masa-masa sulit di depan mata. Yakinlah, setiap badai pasti berlalu. Semoga playlist ini bisa menemani, syukur-syukur menghibur kalian, melewati semua onak dan duri kehidupan.


SOUNDTRACK MENGARUNGI JALANAN

Manny Rune – Bonne Nuit

Transisi Dennis Ferdinand dari sosok yang lama berkutat di kancah punk Jakarta, menjadi pendakwah pop yang menghidupkan lagi semangat Steely Dan atau The Blue Niles, terasa mulus. Tiga single yang telah dia lempar tahun ini lewat proyek solo yang dia juluki Manny Rune berhasil melepas imaji pendengar dari proyek sebelumnya saat dia masih menjadi vokalis Summerlane. “Bonne Nuit”, single ketiganya, menghadirkan konsep yang paling matang. Melodi melankolis, momen sing-a-long yang padu, ditaburi ajakan nostalgia di liriknya. Lagu ini seakan dirancang maksimal menemani siapapun mengarungi jalanan kota di kala malam.


ANOTHER DAY, ANOTHER MASTERPIECE

The S.I.G.I.T – Another Day

Tanpa aba-aba setelah tujuh tahun tak merilis materi anyar, The S.I.G.I.T kembali lagi ke kancah musik Indonesia. Kuartet asal Bandung ini melempar single yang menggabungkan beragam pengaruh raksasa classic rock dunia, dari Cream sampai The Stooges, bahkan terasa juga jejak Brian Eno di sana-sini. Rekti Yoewono dkk berhasil menyegarkan formula yang sudah mereka jelajahi di album Detourn (2013).

Riff gitar ngebut sementara dipinggirkan, menjadi lebih terkalkulasi demi menghasilkan efek dramatis di awal lagu, untuk selanjutnya memberi jalan pada piano dan terompet yang menjadi garda depan melodi “Another Day”. The S.I.G.I.T berambisi membawa pendengar menuju renungan psikedelik tentang kefanaan hidup, “The death will smile at every men//All one can do is to smile back,” seperti dinyanyikan Rekti. Ambisi itu jelas tercapai. Single ini adalah pertanda baik bagi siapapun yang menantikan rilisnya album ketiga mereka. Suatu kabar baik di tengah suasana depresif 2020.


MELAWAN KEZALIMAN NEGARA DARI KAMAR

Matisuri – Punk Isolasi

Muhamad Kusuma Gotansyah, sosok di balik proyek eksperimental pop Matisuri, menawarkan anthem perlawanan yang menarik dari kamarnya. Gagasan utama lagu yang menggabungkan vokal lirih dengan synth goth repetitif ini, pertama-tama mungkin membuatmu tergelitik. Antifa kok ngendon di kamar. Tapi mengingat sekarang memang sedang pandemi, menjaga semangat perlawanan sembari berdiam di kamar adalah kompromi yang cukup bijaksana. Apalagi, chorus-nya yang menggetarkan itu “walau di rumah negara tetap rutin menindas” terasa amat relevan; terutama ketika linimasa medsosmu diwarnai kabar kekerasan aparat, serta dihujani kampanye dukungan influencer buat omnibus law yang terus dikebut pembahasannya padahal terbukti penuh masalah.


HARMONI VOKAL YANG MENYENTUH JIWAMU

Grace Sahertian – Honestunes

Mengingat bakat-bakat vokal amat melimpah di negara ini, cukup mengherankan ketika materi bernuansa neo soul tidak rutin dihasilkan. Grace Sahertian mengisi kelangkaan itu dengan single yang terasa jujur dari hati, seperti judulnya. “Honestunes” sebetulnya materi lama, ditulis sejak 11 tahun lalu, tapi Grace mengaransemen ulang dengan sentuhan neo soul yang amat kentara, serta harmonisasi vokal sebagai bintang utamanya. Single ini menandai lompatan konsep yang lebih kokoh dari Hela, album debut Grace tiga tahun lalu. Grace secara meyakinkan bisa mengajak semua orang untuk terus percaya pada energi positif musik. Kami sangat menantikan materi barunya, yang semoga terus bisa menyentuh jiwa pendengar di manapun.


KEINDAHAN MESIN PENGHANCUR

Logic Lost – Pointless War Machine

Dylan Amirio, sosok di balik moniker Logic Lost yang amat diperhitungkan di kancah elektronik lokal, kembali lagi. Inspirasi track ini, kata Dylan, datang dari arogansi manusia haus perang saat menghasilkan senjata penghancur di Perang Dunia II. Dalam single yang masuk kompilasi label softbruterecords ini, eksplorasi sound drone beratmosfer gelap amat dominan, mengemulasi imaji kita soal “mesin”. Namun di tengah kepekatan sound itu, sedikit palet-palet melodi menyusup, mengingatkan kita kalau Logic Lost sebelumnya punya katalog ambient yang amat menarik. Kita menyadari sedang mendengar deru suara mesin penghancur, tapi pesonanya amat kuat, dan kita terlena pada keindahannya yang tak lazim.


IRAMA RIANG KETIMPANGAN SOSIAL

Irama Pantai Selatan – Khayalan Rakyat

Duo folk pesisir Sigit Ezra dan Arief Fauzan kembali mengail inspirasi dari aransemen pop klasik Saiful Bahri hingga Oslan Husein, lalu menyodorkan sebuah lagu berirama gembira yang liriknya tanpa tedeng aling-aling menggambarkan ketimpangan sosial, soal cinta tak sampai rakyat biasa pada putri saudagar. “Maskawin bagaimana, masa diberi becak, hahahaha.”

Tak ada yang bisa dilakukan untuk mengubah keadaan, dan Irama Pantai Selatan mengingatkan kita untuk menerima saja kepahitan itu. Depresif memang, tapi kita tetap terhibur dengan alunan ukulele yang meliuk riang sepanjang lagu ini. Sebab kemampuan menertawakan nasib adalah senjata terbaik untuk menjaga kewarasan kita semua di masa-masa sulit.


METAL YANG SINEMATIK

Amerta – Bleeker

Single perdana band post metal Amerta tak terasa seperti materi debut sama sekali. Ada gagasan kuat yang mereka sodorkan, sehingga enam menit “Bleeker” penuh lapis-lapis emosi, serta kontradiksi aransemen, yang membuatnya seperti cuplikan film pendek. Daya tarik terbesar Amerta, digawangi nama-nama yang biasa wara-wiri di skena hardcore dan black metal Jakarta, ada pada kemampuan mereka menjaga kejutan dari awal hingga akhir lagu. Selalu ada perubahan tempo yang tak klise, dan gedoran drop yang memadai untuk membuatmu headbang. Amerta mengklaim single ini adalah upaya mereka menghasilkan aransemen “post-apocalyptic”. Setelah didengar berulang kali, rasanya klaim itu ada benarnya. “Bleeker” bisa kita putar menjelang keruntuhan sebuah peradaban.


DOGMA MENGHADAPI TAHUN YANG ASU

BAPAK – Dogma Milenial Provinsi Yggdrasil

“Aku ingin berguna//aku bertapak diatas sentimen masa muda” diteriakkan oleh BAPAK, disusul riff post-hardcore yang amat optimis, sebelum semua instrumen kembali menggumuli chaos. Materi dari album baru unit eksperimental rock yang digawangi Kareem Soenharjo ini efektif menggambarkan kegelisahan menggelayuti anak muda selama 2020, yang sesuai judul album debut mereka, cukup layak disebut Miasma Tahun Asu (spoiler: salah satu kandidat album terbaik yang rilis tahun ini menurut VICE). Keseimbangan antara visi artistik unik dan energi mentah ini amat kami nantikan wujudnya di atas panggung, saat dunia (mungkin) kembali normal.


KITA SEMUA BERHAK MENGELUH

Laze feat. Kara Chenoa – Turun dari Langit

Pendengar hip hop lokal tentu sejak lama menyadari bakat Havie Parkasya a.k.a Laze untuk urusan wordplay. Tapi di single terbarunya, dia mencampurkan kecermatan menata kata itu dengan childlike whimsicality, ditemani vokal lembut Kara Chenoa. Laze mengeluh “ingin hidup bagai Hotman Paris”, berharap “rupiah turun dari langit”, ketika banyak teman seusianya nampak lebih sukses. Keluhan yang sekilas naif tapi relatable ini, mengingatkan kita pada khayalan Oppie Andaresta tiga dekade lalu. Bedanya, Laze berusaha meragukan ambisi itu, karena dia ingin “tetap punya soul bagai ibukota Korsel”. Tapi, mengeluh adalah perkara alamiah, apalagi ketika kita semua terjerat konsumerisme fatalistik. Laze bersama Kara Chenoa, membalut tema yang gelap ini dalam beat khas RnB 90’an yang cerah. Setidaknya, semua orang bisa mengeluh bersama-sama dengan single terbaru darinya.