Konglomerasi produsen bir asal Jepang, Kirin, jadi perusahaan multinasional pertama berusaha melepas keterkaitan dari rezim baru Myanmar yang berkuasa lewat kudeta. Berselang empat hari selepas militer menangkap Aung San Suu Kyi dan para petinggi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (LND), Kirin membatalkan proyek investasi bersama BUMN Myanmar.
Keputusan Kirin ini menjadi pukulan telak bagi junta militer, lantaran proyek pembangunan pabrik bir itu selama lima tahun terakhir merupakan sumber pemasukan besar bagi bisnis pelat merah yang dikuasai elit tentara. Dalam keterangan tertulis yang dirilis Jumat (5/2), manajemen Kirin mengaku, “sangat prihatin melihat tindakan militer di Myanmar yang tidak sesuai standar kami mengenai penegakan hak asasi manusia.”
“Akibat perkembangan situasi tersebut, kami tidak memiliki opsi lain kecuali membatalkan proyek joint-venture dengan Myanmar Economic Holdings Public Company Limited, yang sebagian keuntungannya tersalur ke dana abadi militer Myanmar.”
BUMN yang bemitra dengan Kirin, biasa disebut MEHL, adalah produsen bir yang memasok bermacam produk ke pasar Asia Tenggara. Bir hanya satu dari sekian bisnis BUMN yang dikuasai petinggi tentara Myanmar itu. Sektor lain yang mereka geluti termasuk real estate, pertambangan, dan pariwisata.
Saat dihubungi VICE World News pada 3 Februari 2021, juru bicara Kirin sudah mempertimbangkan pembatalan investasi untuk merespons kudeta. Sebetulnya, tanpa kudeta ini pun, Kirin rutin mendapat tekanan aktivis HAM internasional lantaran adanya persekusi terhadap etnis minoritas Rohingya. Kerja sama Kirin dan MEHL dianggap aktivis memberi dukungan finansial bagi tentara untuk melakukan bermacam pelanggaran HAM terhadap minoritas muslim di Myanmar, khususnya pada 2017.
Kala itu, tentara Myanmar menjalankan operasi militer di Negara Bagian Rakhine, yang menurut utusan khusus PBB, sudah masuk kategori upaya genosida terhadap etnis Rohingya.
Amnesty International mengapresiasi keputusan Kirin yang akhirnya berhenti menjalin kerja sama dengan BUMN yang dikuasai militer Myanmar. “Keputusan [Kirin] tentu kabar baik,” kata Ming Yu Hah, wakil direktur kampanye Amnesty International untuk Asia Tenggara. “Selanjutnya, kami berharap perusahaan internasional lain yang memiliki jalinan bisnis dengan tentara Myanmar melakukan tindakan serupa.”
Di dalam negeri, perlawanan terhadap kudeta mulai muncul. Ratusan orang berunjuk rasa di kota-kota besar Myanmar menolak kembalinya junta, meski sebagian besar segera diringkus oleh aparat.
Di saat bersamaan, tekanan internasional makin membesar pada Myanmar. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah merilis pernyataan resmi, menuntut segera dibebaskannya Aung San Suu Kyi serta para pemimpin sipil dari tahanan militer. Pemerintah Amerika Serikat sendiri sedang membahas rencana penjatuhan sanksi ekonomi berlapis, menyasar sumber uang petinggi militer Myanmar, sebagai wujud penolakan terhadap kudeta tersebut.