Aktivis satwa liar Indira Nurul Qomariah geram bukan kepalang. Pada Senin (15/2) lalu, ia menerima informasi bahwa Candy Laura, monyet “albino” yang dipelihara pesohor Irfan Hakim, ternyata berambut putih karena diputihkan secara kimia (bleaching).
Lewat akun Twitter-nya, Indira mengecam penyiksaan pada monyet liar. Keriuhan terjadi, mayoritas ikut Indira mengecam Irfan. Per Selasa (16/2), utasnya telah dibagikan lebih dari 20 ribu kali, menimbulkan perbincangan terkait buruknya kondisi satwa liar yang dipelihara paksa.
Indira menekankan betapa teganya pedagang yang membalurkan obat kimia ke sekujur badan bayi monyet agar terlihat lebih menarik untuk dijual. Ia lantas mengedukasi kembali beberapa praktik kejam di balik perdagangan bayi monyet, seperti gigi yang dicabut pakai tang, induk yang dibunuh agar pemburu bisa memisahkannya dengan sang bayi, serta bagaimana monyet tidak lagi diurus pemelihara setelah memasuki usia dewasa.
Irfan memiliki akun YouTube ‘deHakims’ merekam kegiatan keluarganya, salah satu yang populer adalah konten tentang binatang langka peliharaan. Mundur ke setahun lalu, dalam sebuah wawancara Irfan mengindikasikan ia sendiri tidak paham Candy yang berumur dua bulan saat ia beli dari seorang kawan merupakan merupakan monyet albino asli atau korban pemutihan.
Langkah insensitif Irfan sebagai pesohor tentu berdampak luas. Gerakan pencinta kukang bernama Kukangku merilis laporan mengenai naiknya jumlah konten pelihara monyet di YouTube. Sebagai jenis primata yang tidak dilindungi, monyet kerap dieksploitasi manusia, baik diperjual-belikan atau dipelihara secara semena-mena.
Data 2018-2020 menunjukkan konten semacam ini naik dua kali lipat setiap tahunnya. Pada 2020, ditemukan ada 334 konten video terunggah di 204 kanal. Unggahan tertinggi pada Oktober 2020 dengan 53 video, terendah pada Februari dengan 8 unggahan. Beberapa contoh bisa dilihat di video ini, video ini, dan video ini.
Kukangku melihat peningkatan konten dipengaruhi salah satunya oleh Irfan Hakim. Pembawa acara profesional tersebut dianggap mewajarkan praktik memelihara monyet. Enggak heran, banyak pengguna internet menirunya, mengabadikan momen beli monyet untuk dipamerkan ke publik.
Organisasi pelindung satwa Center for Orangutan Protection (COP) mencatat transaksi jual-beli monyet justru meningkat setelah pandemi. “Hanya sesaat saja [pandemi] membuat perdagangan satwa sepi. Setelah itu, perdagangan satwa khususnya primata malah lebih menggila. Perdagangan monyet ekor panjang melonjak seiring diberlakukan pembatasan berkegiatan, kemungkinan karena orang mencari kegiatan di rumah. Ditambah, semakin banyak konten media sosial mengenai orang pelihara monyet, membuat orang lain tertarik,” kata Satria Wardhana, Anti-Wildlife Crime COP, kepada VICE.
Satria menyebut memang satwa monyet ekor panjang tidak dilindungi secara sah dalam UU. Namun, ia memiliki kuota tangkap atau batas maksimal dalam setahun untuk penangkapannya yang diatur KLHK. Terlebih, tren pelihara monyet di media sosial enggak cuma mempengaruhi perburuan monyet liar saja. Kata Satria, tren ini juga memicu kalangan tertentu ikut-ikutan membeli satwa liar yang dilindungi.
Sementara Kukangku memantau 93 persen konten pemeliharaan monyet di internet berada di usia bayi tanpa induk. Sepanjang 2020, mereka menemukan hampir empat ribu iklan jual monyet, monyet pantai, dan beruk di Facebook. Akun jualan tersebut pun mendapat respons bagus dari ribuan peminat dengan harga rata-rata Rp500 ribu.
“Beberapa hari yang lalu, kami abis menangkap pedagang bayi lutung. Ini salah satu imbas tren pelihara monyet, bisa berdampak ke perburuan spesies primata yang lain juga,” ujar Indira saat dihubungi VICE. Saat ditanyai kepada pesohor macam Irfan Hakim yang merasa sanggup memelihara primata di rumahnya, Indira menekankan bahwa masalah besarnya ada jauh sebelum sang monyet berada di tangan Irfan.
“Mau dirawat dengan baik, walau monyet pantai bukan spesies yang dilindungi, perbuatan memisahkan bayi dengan induk saat masih menyusui itu termasuk animal abuse. Tren jual beli primata harus dihentikan supaya enggak ada lagi pemburu yang membunuh induk monyet,” tambah Indira.
Terlebih, sepandai-pandainya manusia merawat bayi monyet, tetap saja tidak akan bisa sebaik induknya. “Pemindahan paksa bayi dari ibu mereka, dan ‘dibesarkan’ dalam lingkungan manusia, menghasilkan perkembangan abnormal dan kondisi dalam penahanan menyebabkan masalah psikologis dan fisik yang parah,” kata Nedim Buyukmihci, dosen kedokteran hewan dari University of California, dalam rilis resmi Action for Primates, dilansir Suara. “Ketika mereka dewasa dan menjadi lebih kuat secara fisik, mereka menjadi tidak terduga dan agresif terhadap orang-orang dan dapat menyebabkan cedera serius.”
Pada 2018 lalu, Aliansi Peduli Satwa sempat melakukan protes simultan ke Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA), meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan larangan perdagangan primata.
Aliansi terdiri atas organisasi pencinta satwa Animal Friends Jogja (AFJ), Jakarta Animal Aid Network, Center for Orangutan Protection, Cat Lovers of the World, Bali Pets Crusader, dan Act for Bali Dogs. Serentak, aksi dilakukan di Yogyakarta, Jakarta, Bali, Semarang, Solo, Malang, Surabaya, Bandung, Riau, dan Medan.