Jika Membaca adalah membuka jendela dunia, maka menulis adalah membantu menggambarkan dunia. Filosofi inilah yang mungkin menjadi landasan bagi para sastrawan untuk turut menggoreskan tidak dan mengukir ide, lalu menciptakan gambaran tentang dunia agar bisa dinikmati oleh pembaca. Tidak ketinggalan pula mereka, putra – putri Nusa Tenggara Timur yang ikut masuk dan mewarnai perkembangan dunia sastra di Indonesia. Karya – karya mereka berhasil mencuri perhatian, tidak hanya di Indonesia namun juga ke berbagai belahan dunia. Disadur dari berbagai sumber, berikut adalah tujuh sastrawan ternama dari Nusa Tenggara Timur :
1. Gerson Poyk
Sosoknya layak disebut sebagai salah satu sastrawan terbaik di Indonesia. Lahir di Rote Ndao, 16 Juni 1931, Opa Gerson, demikian biasa ia disapa adalah seorang penulis, wartawan sekaligus seorang guru. Opa Gerson mengawali karir kepenulisannya ketika bersekolah di Surabaya, Jawa Timur pada tahun 1950. Beragam karya sastra tertuang lewat tangan indahnya mulai dari cerpen, novel, puisi, kisah perjalanan serta artikel.
Karya-karya Opa Gerson diantaranya dalam bentuk Novel adalah Sang Guru (1972), Nyoman Sulastri (1988), Enu Molas di Lembah Lingko, Doa Perkabungan (1987), Requiem untuk Seorang Perempuan (1983), Cumbuan Sabana (1979) dan lain-lain. Sedangkan kumpulan cerpen adalah Mutiara di Tengah Sawah (1985), Jerat (1978), Nostalgia Nusa Tenggara (1975), Nostalgia Flobamora (2001) dan lain-lain. Karya – karyanya banyak mengandung unsur etnis Nusa Tenggara Timur dan telah diterjemahkan dalam berbagai Bahasa seperti Jepang, Belanda, Inggris, Turki, Jerman serta dimuat dalam sejumlah antologi dan majalah asing.
Opa Gerson juga tercatat sebagai sastrawan angkatan pertama penerima International Writing Program dari University of Iowa, Amerika Serikat pada 1985. Selain itu Opa Gerson juga meraih penghargaan karya jurnalistik Adinegoro (1986) hadiah Sastra Asean (1989), Academy Award dari Forum Academia NTT (2012) serta beragam penghargaan lainnya. Hingga saat ini, Opa Gerson masih tetap produktif menuangkan karya – karyanya dalam lembaran kertas.
2.Umbu Landu Paranggi
Lahir di Sumba, 10 Agustus 1943, Umbu Landu Paranggi adalah salah satu tokoh sastra yang mengawali karirnya di Jogjakarta dengan mendirikan kelompok apresiasi sastra bernama Persada Studi Klub (PSK) dan menjadi redaktur sastra pada mingguan Pelopor Yogya. Karena itu ia dikenal dengan sebutan “Presiden Malioboro.” Ia juga merupakan guru dekat dari beberapa sastrawan seperti Emha Ainun Najib dan Linus Suryadi.
Puisi – puisinya yang sarat dengan nuansa spritualitas dan sosial budaya banyak dipuji. Selain terbit dalam bentuk buku dan antologi bersama penyair – penyair lain, karyanya juga dimuat di berbagai media seperti Kompas, Mimbar Indonesia, Basis, Gelanggang, Merdeka, Pelopor Yogya, Bali Post, dan lainnya. beberapa sajaknya juga diterjemahkan dalam Bahasa asing seperti Melodia (A Melody) dalam antologi puisi dwibahasa berjudul A Bonsai’s Morning (Bonsai Memandang Pagi) pada 1996.
3.Dami N. Toda
Dikenal luas sebagai seorang kritikus sastra, Dami N. Toda mengawali karirnya sebagai seorang penyair, puisi pertamanya berjudul “Sesando Negeri Savana” yang dimuat di majalah Sastra pada 1969. Beberapa puisinya yang lain adalah Epitaph Buat Daisia Kecil (1973), Pidato Kuburan Seorang Pembunuh (1977). Kumpulan puisinya yang pertama terbit pada 1976 dalam bentuk antologi bersama penyair – penyair Indonesia lainnya. Puisi – puisi lainnya juga terbit dalam Antologi Tonggak II (1987) dan Kumpulan puisi pribadinya yang berjudul Abadi (2005).
Dami N. Toda adalah seorang kritikus sastra yang sejak menjadi mahasiswa telah aktif menulis artikel, opini, esai, telaah dan kritik sastra. Ia sering tampil sebagai pembicara dalam berbagai forum sastra di dalam maupun luar negeri. Karya – karyanya di bidang telaah dan kritik sastra adalah tentang karya dari beberapa sastrawan hebat seperti Taufik Ismail, Goenawan Moehammad, Iwan Simatupang, Sutardji Calzoum Bachri juga salah satu karya dari Friederich Nietszche. Buku Telaah dan kritik sastranya yang berjudul Hamba – Hamba Kebudayaan diganjar penghargaan hadiah sastra dari Dewan Kesenian Jakarta pada 1984.
4.Maria Matildis Banda
Perempuan kelahiran 29 Januari 1960 telah melahirkan karya – karya sastra dalam bentuk novel antara lain, Liontin Sakura Patah, Bugenvil Di Tengah Karang, Pada Taman Bahagia, Surat-surat dari Dili, dan Rabies. Ketertarikannya pada dunia menulis berawal dari kebiasaannya menulis cerpen dan puisi semasa kuliah, serta dengan mengikuti berbagai kompetisi menulis yang diadakan di kampus maupun media massa lainnya seperti Femina dan Pos Kupang. Pada tahun 1981, Maria meraih penghargaan sebagai juara satu dalam lomba menulis prosa Bali dengan judul Pulang. Tiga tahun kemudian, lewat tulisannya yang berjudul Potret Gadisku berhasil menghantarkan Maria sebaga juara dua dalam lomba menulis naskah drama. Pada 1985 ia berhasil meraih juara satu dalam lomba cerpen se- Jawa Timur dan Nusa Tenggara. Saat ini, Maria masih aktif menggores pena dan dan berkarya lewat tulisan – tulisannya. Ia jug seorang pengajar di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali serta Universitas Nusa Cendana, Kupang.
5. Fanny Jonathans Poyk
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Demikian pepatah yang cocok untuk disematkan pada perempuan kelahiran 1960 ini. Mewarisi darah sastra dari sang ayah, Gerson Poyk, Fanny merupakan salah satu penulis yang cukup produktif. Sudah banyak karyanya yang dimuat di berbagai media massa seperti Sinar Harapan, Suara Karya, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Bali Post, Kartini dan Sarina. Buku – bukunya yang telah terbit antara lain Pelangi di Langit Bali, Istri – Istri Orang Seberang (2008), Perjuangan para Ibu: Anakku Pecandu Narkoba, Narkoba Sayonara (2006), Suamiku Dirampok Orang (Kumpulan cerpen), Luka dan lain – lain.
6.Mezra E. Pellondou
Penulis yang guru, guru yang penulis. Itulah sosok seorang Mezra yang akrab dipanggil Bunda Mezra oleh murid – muridnya di SMA Negeri 1 Kupang. Perempuan Kelahiran 21 Oktober 1969 ini sudah tidak asing lagi di telinga para penikmat sastra NTT.
Berbagai macam penghargaan sudah ia raih, terhitung sejak pertama kali ia menjejakkan kaki di dunia sastra hingga saat ini. Lewat karya – karyanya yang kuat dengan unsur sosio – kultural masyarakat Nusa Tenggara Timur, Mezra menunjukkan taringnya sebagai penyair perempuan yang tidak pernah mati dalam berkarya. Sejak karyanya tampil di berbagai media dan jurnal nasional, Mezra terus berkarya dengan menelurkan berbagai macam karya mulai dari novel, kumpulan cerpen, puisi, drama, film dan lain – lain. Manusia – Manusia Jendela, Loge, Nama Saya Tawe Kabotta, Perempuan dari Lembah Mutis dan Laposin (naskah drama) adalah sebagian kecil dari karya Mezra yang diganjar berbagai penghargaan. Hingga saat ini, Mezra masih tetap aktif sebagai guru serta dosen di Universitas PGRI Kupang, juga tidak meninggalkan panggilannya sebagai seorang pegiat sastra.
7. Mario F. Lawi
Muda dan bertalenta, dua kata yang sangat tepat untuk menggambarkan sosok lelaki kelahiran 18 Februari 1991 ini. Puisi-puisinya sudah pernah dipublikasikan di beberapa surat kabar seperti Kompas, Koran Tempo, Sinar Harapan, Bali Post, Sumut Pos, Pos Kupang, Victory News dan Flores Pos, juga dimuat dalam sejumlah buku festival kepenulisan seperti Tuah Tara No Ate (TSI IV, 2011), Sauk Seloko (Pertemuan Penyair Nusantara VI Jambi, 2012), Through Darkness to Light (UWRF 2013), Senja di Kota Kupang (Kantor Bahasa NTT, 2013) serta sejumlah jurnal dan buletin sastra.
Tema biblikal menjadi ciri khas yang ada pada setiap karya yang dihasilkan oleh Mario. Sepak terjangnya dalam dunia sastra yang gemilang pun membuat ia berulang kali meraih penghargaan. Pada awal tahun 2014, buku puisinya yang berjudul Memoria menjadi salah satu buku sastra yang direkomendasikan oleh Majalah Tempo. Selanjutnya pada 2015 ini, buku puisinya yang berjudul Ekaristi mendapat penghargaan sebagai buku puisi terbaik dari Majalah Tempo. Penghargaan lain yang ia terima adalah NTT Academia Award kategori sastra pada tahun 2014.
Basodara, itulah tujuh orang sastrawan ternama asal Nusa Tenggara Timur yang berhasil dirangkum oleh basodara.com. motivasi, dedikasi dan prestasi yang mereka torehkan dalam dunia sastra di Indonesia menjadi warna tersendiri bagi perkembangan kesusastraan. Karya – karya mereka membuktikan bahwa Nusa Tenggara Timur telah berhasil mencetak manusia – manusia produktif dalam dunia sastra di Indonesia. Siapkah kita untuk menjadi orang ke-delapan, ke-sembilan, dan urutan – urutan berikutnya untuk melengkapi daftar panjang sastrawan NTT?
Salam,
Basodara.com 🙂
(y) Sebagai informasi tambahan, pada tahun 2010 ada sebuah buku baru Opa Gerson yang diterbitkan oleh Libri (anak perusahaannya BPK Gunung Mulia), judulnya “Keliling Indonesia dari Era Bung Karno sampai SBY: Catatan Perjalanan Wartawan Nekat”…
Dan Umbu Landu Paranggi sekarang tinggal di Denpasar. Menurut informasi, beliau sekarang adalah editor di Bali Pos. 🙂
Thanks for the compliment, Awang Praing 😀 😀
Sebagai putera bangsa sekaligus putera NTT, saya bangga karena putera/puteri NTT pun turut membangun bangsa melalui karya sastra. Saya mengapresiai ke-7 puteri/putera yang telah diperkenalkan oleh sdr Thomas Benmetan dalam tulisannya. Selain dari ke-7 putera/puteri terbaik itu, masih terdapat pula beberapa putera/puteri NTT yang telah memunculkan karya mereka melalui sastra. Tuhan memberkati.
ada banyak yg bisa disebutkan John Dami Mukesse menulis puisi lirik yang sangat bagus. puisinya nongol di majalah sastra horison, juga menerbitkan beberapa kumpulan puisi. beliau masuk dalam daftar nama sastrawan Indonesia dalam antologi puisi yang diterbitkan balai pustaka kalau saya tdk salah.
Comments are closed.