Home Uncategorized Uji Klinis Tanpa Izin BPOM, Politisi Bela Vaksin Nusantara ‘Karya Anak Bangsa’

Uji Klinis Tanpa Izin BPOM, Politisi Bela Vaksin Nusantara ‘Karya Anak Bangsa’

645
0
uji-klinis-tanpa-izin-bpom,-politisi-bela-vaksin-nusantara-‘karya-anak-bangsa’

Kalau Anda sempat berpikir sepak terjang mantan menteri kesehatan sekaligus duta “Enjoy Aja Lawan Corona” Terawan Agus Putranto sudah selesai selepas dicopot Presiden Joko Widodo dari kursi menteri, Anda salah besar. Usai pensiun dari pemerintahan, Terawan kembali bikin geger publik setelah diketahui ngotot melanjutkan uji klinis tahap II vaksin Covid-19 bernama vaksin Nusantara, meski tanpa izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Proses uji klinis II vaksin Nusantara berlangsung di RS Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Entah dimulai sejak kapan, kemarin sorotan berdatangan karena sejumlah anggota DPR RI dari Komisi IX, politikus, dan mantan petinggi negara ternyata terlibat sebagai relawan uji klinis. Di antara yang hadir di RSPAD kemarin ialah mantan sekretaris kabinet Sudi Silalahi, mantan menteri BUMN Dahlan Iskan, eks Panglima TNI Gatot Nurmantyo, pengusaha Tomy Winata, dan mantan menko kesra Aburizal Bakrie. Dalam proses ini, para relawan diambil darahnya untuk dibuatkan vaksin dengan metode sel dendritik tersebut.

“Tujuh hari ke depan, darah yang sudah diproses yang hari ini diambil, akan disuntikkan kembali. Untuk divaksin kepada yang sudah diambil darahnya. Jadi, rentang waktu tujuh sampai delapan hari, darah yang sudah diambil itu kemudian diproses lalu kemudian dimasukkan lagi ke dalam tubuh kita,” kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad. Ia percaya diri menyebut keterlibatannya ini adalah bentuk dukungan terhadap “buatan anak bangsa”. Klaim serupa dinyatakan Dahlan Iskan dan Aburizal.

Vaksin Nusantara dibuat menggunakan metode sel dendritik. Cara kerjanya, peneliti mengambil sampel darah relawan, lalu dipaparkan pada virus yang sudah dilemahkan. Inkubasi 3-7 hari dilakukan agar sel pasien mengenali virus dan mengalahkannya. Hasil inkubasi berisi antibodi akan kembali disuntikkan ke tubuh pasien. Metode ini membuat tiap vaksin bersifat personal.

Tiap individu hanya akan menerima satu suntikan spesifik, yang dibuat dari sel miliknya sendiri. Konsep ini berbeda dari visi pembuatan vaksin yang idealnya dibuat untuk keperluan massal. Pengurus Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia Masdalina Pane bahkan tidak sepakat menyebut vaksin Nusantara sebagai vaksin.

Proses uji klinis II vaksin Nusantara segera menuai kecaman dari BPOM dan epidemiolog. Pasalnya, BPOM belum mengeluarkan izin pelaksanaan uji klinis II vaksin ini karena sejumlah syarat belum terpenuhi, di antaranya syarat proses pembuatan dan syarat keamanan berdasarkan uji klinis I.

BPOM menyatakan, sebanyak 71 persen relawan uji klinis pertama mengalami kejadian tidak diinginkan (KTD). BPOM juga mengaku kesulitan mendapat informasi seputar penelitian karena peneliti utama dr. Djoko dari RSPAD Gatot Subroto dan dr. Karyana dari Balitbangkes tidak bisa menjawab pertanyaan BPOM. Keduanya, sebut BPOM, tidak mengikuti jalannya penelitian tersebut.

Selain jalan terus meski tanpa restu BPOM, ada kemungkinan uji klinis II diadakan di RSPAD, rumah sakit yang pernah dikepalai Terawan, karena RS Umum Pusat (RSUP) dr. Kariadi Semarang sebagai lokasi uji klinis I telah menghentikan proses penelitian vaksin Nusantara. Keputusan itu telah dikirimkan RSUP dr. Kariadi ke Kementerian Kesehatan pada 12 Maret silam.

Usai dilanggarnya SOP dari BPOM, epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono meminta Kemenkes sebagai salah satu pihak yang membiayai vaksin Nusantara tegas menyetop penelitian ini.

“Di dalam bab 9, pelanggaran itu bisa berupa peringatan, penangguhan uji klinik dan atau penghentian pelaksanaan uji klinik,” ia mengatakan kepada Kompas. “Apalagi Presiden sudah bilang semua harus mengikuti kaidah sains, artinya dia [Terawan] melawan Presiden.”

Salah satu peneliti vaksin Nusantara dari RSUP dr. Kariadi Muchlis Achsan mengatakan tak tahu alasan uji klinis II di RSPAD Gatot Subroto tetap berjalan. Ia mengaku tidak terlibat dalam proses tersebut.

Menurut juru bicara vaksinasi Covid-19 BPOM Lucia Rizka Andalusia, dengan nihilnya izin uji klinis II dari BPOM, konsekuensinya kelak vaksin Nusantara tak akan dapat izin edar. “Konsekuensinya [tanpa izin BPOM] kalau sebagai penelitian saja tidak apa-apa, asal tidak jadi produk yang akan dimintakan izin edar,” kata Lucia.

Meski mekanisme penelitian vaksin Nusantara terang melanggar aturan, para politisi relawan uji klinis II membela vaksin ini dengan alasan nasionalistis: karena vaksin ini buatan anak bangsa. Klaim ini juga langsung disanggah oleh Kepala BPOM Penny Lukito. Ia mengklarifikasi bahwa komponen utama vaksin Nusantara dibawa dari Amerika Serikat dan dikerjakan juga oleh peneliti Amerika.

“Semua komponen utama pembuatan vaksin dendritik ini diimpor dari AS,” kata Penny kepada Kompas. Antigen Covid-19 yang digunakan dalam pembuatan merupakan produksi Lake Pharma di AS dan GMCSF-nya diproduksi oleh Sanofi, juga dari AS. “Penelitian uji klinik ini dilakukan oleh peneliti dari AIVITA Biomedia Inc. USA, yaitu orang asing yang bekerja di Indonesia untuk meneliti menggunakan subjek orang Indonesia,” tambah Penny.

Pakar biologi molekuler Ahmad Utomo menilai metode pembuatan vaksin Nusantara tidak cocok diterapkan di situasi pandemi. Vaksin idealnya bersifat massal, dengan tujuan seluruh orang bisa dapat suntikan sama. “Vaksin seperti dendritik ini lebih cocok pada penyakit-penyakit non-infeksi seperti kanker, misalnya,” kata Ahmad Utomo kepada BBC Indonesia. Karena sangat individual, disinyalir harganya akan jauh lebih mahal dari vaksin yang sudah ada karena beda orang, beda pula yang disuntikkan.

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyebut langkah DPR RI mengikuti uji klinis vaksin Nusantara sebagai langkah politisasi vaksin. Alih-alih menjadi pihak yang memikirkan jalan keluar di tengah pandemi, ia menilai para anggota dewan ini berpotensi menimbulkan masalah baru.

“Tidak bisa aksi politik melawan standar-standar yang sudah ditetapkan [BPOM] itu, saya kira dalam konteks DPR menganggap BPOM pilih kasih dan sebagainya, itu yang membuat persoalan ini menjadi bertambah pelik. Tindakan DPR kemudian dianggap sebagai bentuk, dalam tanda kutip, intervensi kepada BPOM,” kata Lucius kepada CNN Indonesia. “Aksi politis DPR terlihat ingin berhadap-hadap dengan BPOM dan itu membuat persoalan vaksin ini akan cenderung politis dan kemudian dipolitisir dan tentu ini efeknya buruk untuk ke publik.”

Nyatanya, Komisi IX pun enggak satu suara mendukung vaksin Nusantara. Wakil Ketua Komisi IX Charles Honoris bilang, anggota/pimpinan Komisi IX yang ikut vaksin merupakan keputusan pribadi, bukan kolektif.