Setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing. Entah itu dalam hal, budaya maupun tradisi. Begitu pun dengan cara dan bentuk busana.
[/vc_blockquote]
Di Ende, ada sebuah busana untuk perempuan. Namanya Zawo (Bahasa Ende) atau Lawo (Bahasa Lio), karena saya menggunakan bahasa Ende, maka ditulisan ini, saya memakai sebutan Zawo. Zawo adalah sebuah hasil tenunan yang cukup panjang dengan model seperti sarung. Zawo dibuat untuk dipakai kaum perempuan Ende. (o fai dan ata ine). Berdasarkan sejarah, Ende pernah dijajah oleh bangsa portugis atau yang lebih dikenal sekarang portugal. Ada berbagai dampak yang ditimbulkan akibat penjajahan tersebut. Selain dampak negatif, ada juga dampak positifnya. Salah satunya ialah berpengaruh terhadap warna dan motif tenun ikat Ende.
Belum bisa dipastikan, kapan penduduk pribumi Ende mulai melakukan aktifitas menenun. Karena belum ada literatur yang atau penelitian yang membuktikannya. Menenun adalah pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan karena dinilai lebih ringan dan perempuan lebih teliti dari laki-laki. Di Ende pembuatan kain tenun dinamakan SENDA.
Proses Pembuatan dan Namanya.
Proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena penenun harus teliti dan bersabar dalam menghitung dan menempatkan bagian-bagian dari beberapa helai benang yang telah diberi motif tersebut agar mendapatkan hasil yang bagus. Bagian-bagian helai benang tersebut memiliki nama dan jumlah yang berbeda. Nama-nama tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Bue sebanyak 3 helai.
Gheko sebanyak 4 helai.
Wuzi sebanyak 3 helai.
Tekka sebanyak 5 helai.
Mata, sesuai dengan kebutuhan.
“Mata” adalah benang berwarna hitam yang digunakan sebagai pemisah untuk urutan atau komposisi berikutnya. Biasanya hanya ada 2 komposisi.
Berikut ini adalah gambar dari komposisi “ZAWO GEZO/ZAWO METTU DHIKI“
Ket. Gambar:
1. Bue
2. Gheko
3. Bue
4. Wuzi
5. Bue
6.Gheko
7. Teka
8. Bue
9. Gheko
10. Wuzi
11. Bue
12. Gheko
13. Bue
14. Wuzi
15. Tekka
16. Mata
Jenis-Jenis Zawo
Ada beberapa jenis Zawo yang ditenun. Secara umumnya antara lain:
1. Zawo Nggaja
2. Zawo Jara
3. Zawo Kembo
4. Zawo Pea
5. Zawo Soke Mata Dhiki
6. Zawo Gezo
7. Zawo Mangga
Filosofi.
Dalam pembuatan atau proses menenun ada berbagai rahasia dan tataaturan yang harus dilakukan. Hal ini dimaksud agar selama proses pembuatan tak ada tantangan atau halangan dan juga agar si pemakainya terhindar dari segala macam malapetaka dan gangguan roh jahat.
Salah satunya bagi mereka yang memakai motif searah seperti Zawo/ lawo Jara dan Nggaja pada saat acara melayat ke tempat kerabat yang meninggal harus dipakai secara terbalik agar roh jahat tidak mengganggu dan mengikutinya saat kembali ke rumah.
Jika dilihat dari arti serta susunan motif, maka filosofi yang dapat dipetik adalah merupakan suatu gambaran tentang pertahanan yang sangat sulit ditembus, merupakan barisan yang sulit dipatahkan kekuatannya oleh apapun. Sehingga di saat mandi pun mereka memakainya sebagai penutup badan (rio mbasa) agar terhindar dari penyakit, setan/ jin/ suanggi, dan roh jahat lainnya. Mereka tetap meyakini bahwa hal ini terbukti pada nenek moyang mereka yang taat dan patuh terhadap aturan ini mendapat keselamatan dan panjang umurnya hingga timbul ekornya (eko tembu, lebih kurang 250 tahun umurnya), karena tidak salah bertindak (ri’a rewo) terhadap ketentuan atau aturan kehidupan seperti yang dilakukan masyarakat sekarang. Hal yang normatif bila tidak dipatuhi lagi dan bahkan dilanggar (zangga zezo) menurut kepercayaan orang Ende-Lio, orang yang demikian akan mati muda (umu bho’ko mata rimbo)
Selain hal di atas, pada dasarnya motif dan ragam hias yang dihasilkan para perajin lebih mengarah pada keyakinan mereka sendiri. Hal ini terlihat pada proses pembuatannya dari fase ke fase penuh dengan upacara dan syarat religius magis. Keyakinan inilah yang membuat tenun ikat menjadi produk unik. Sistem dualisme pada tenun ikat menggambarkan bahwa dalam berkreasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan, adat, serta agama yang diyakininya.
Secara umum masyarakat Ende mempercayai bahwa, apa yang dipakainya menunjukan atau mencerminkan identitas diri yang sesungguhnya. Mengenakan Zawo pada saat ritual adat adalah salah satu bentuk penghormatan kepada Junjungan Tertinggi (Ngga’e Dewa) lewat perantara leluhur (Embu Kajo). Bahkan berpakaian pun tidak sekedar memakai baju dan celana. Ada etika yang mesti dilakukan yang nantinya akan dinilai oleh masyarakat. (Iwa wisi kosa).
Cacatan ini hanyalah sebagian dari catatan yang seharusnya. Karena berbicara mengenai budaya, kita mesti lebih jauh menggali. Ini hanyalah sebagian yang ada dan terekam. Masih banyak makna, filosofi dan cerita yang belum bisa dinarasikan karena berbagai alasan. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Referensi:
Jurnal Kebudayaan Puslitbang Kebudayaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Edisi November 2011.
– Santoso, Tien. Tata Rias dan Busana Pengantin Seluruh Indonesia. Gramedia
– http://borokandaku.blogspot.com