Home Uncategorized ‘Ledakan’ Kasus Kekerasan Seksual Tak Kunjung Mendorong DPR Sahkan RUU TPKS

‘Ledakan’ Kasus Kekerasan Seksual Tak Kunjung Mendorong DPR Sahkan RUU TPKS

969
0
‘ledakan’-kasus-kekerasan-seksual-tak-kunjung-mendorong-dpr-sahkan-ruu-tpks

Di dua pekan pertama Desember ini saja, publik sudah dibuat muak dengan dua kasus kekerasan seksual keji. Tragisnya, semua kasus tersebut terkuak setelah berakibat fatal. Kasus pertama dialami mahasiswa Universitas Brawijaya Novia Widyasari, yang terungkap setelah korban bunuh diri. Kedua, pemerkosaan 21 santri perempuan di bawah umur oleh pemilik pesantren di Bandung bernama Herry Wirawan. Kasus Herry telah dilaporkan ke polisi pada Mei lalu, namun selama ini disembunyikan dan baru diketahui publik setelah persidangan berjalan.

Taraf kekejian kedua kasus tersebut memancing kemarahan publik di media sosial. Namun, sentimen tersebut tak berhasil menggugah pimpinan DPR RI untuk mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Dalam rapat paripurna terakhir DPR RI tahun ini yang digelar Kamis (16/12), RUU ini masih belum juga disepakati sebagai RUU inisiatif DPR RI dengan alasan prosedur. RUU TPKS tak kunjung dirapatkan dalam rapat Badan Musyawarah DPR RI hingga detik-detik terakhir menjelang rapat paripurna.

“Di pimpinan belum ada kata sepakat, jadi kita tunggu lah pimpinan nanti, tadi saya komunikasi rencananya akan me-rapur [rapat paripurna]-kan itu pada pembukaan masa sidang depan,” ujar Willy dikutip CNN Indonesia.

“Bahwa RUU TPKS tidak masuk dalam paripurna [16/12] bukanlah suatu kesengajaan karena rapim [rapat pimpinan] dan Bamus [Badan Musyawarah] yang mengagendakan acara untuk paripurna besok sudah dilakukan saat sebelum RUU TPKS diambil keputusan tingkat I,” terang Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad kemarin (15/12), dilansir Republika.

Drama ini menjadi salah satu dari sekian ganjalan RUU yang semula bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)—drama dan tanggapan atas perubahan nama dan pasal RUU PKS menjadi RUU TPKS bisa dibaca di sini. Padahal kemarin, Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar sempat mengobral janji akan “mengusahakan” rapat Bamus RUU TPKS segera diadakan agar bisa masuk rapat paripurna.

“Tadi sama Pak Rachmat [Gobel] sebagai wakil ketua berdua, sudah berusaha agar hari ini bisa dilaksanakan Bamus,” ujar Muhaimin kemarin, dilansir RRI. “Besok adalah paripurna terakhir yang mengakhiri masa persidangan terakhir. Saya berharap hari ini bisa Bamus, tapi saya belum bisa pastikan teknisnya udah siap atau belum.”

Ketua DPR RI Puan Maharani berusaha menenangkan publik dengan berjanji, pengesahan RUU TPKS tinggal menunggu waktu. Ia menyiratkan penetapan RUU ini pasti dilakukan tahun depan. 

“Ini hanya masalah waktu karena belum ada waktu yang pas atau cukup untuk dilakukan secara mekanisme yang ada,” ujar Puan dilansir Antaranews. “DPR mendukung agar RUU TPKS segera disahkan untuk menjadi suatu UU yang bisa menjaga dan menyelamatkan hal-hal yang saat ini banyak terjadi.”

Absennya RUU TPKS menjadi bahan interupsi anggota Fraksi PKB Luluk Nur Hamidah di rapat paripurna hari ini. “Saat ini ada ratusan ribu korban kekerasan seksual di luar sana dan sebagian bahkan ada di gedung ini benar-benar berharap atas kebijaksanaan pimpinan dan kita semua agar dalam forum yang terhormat ini kita bisa bersama-sama mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR,” sela Luluk, dilansir Kompas.

“Begitu banyak yang sudah menunggu dan menilai bahwa DPR gagal dan tidak memiliki sense of crisis adanya darurat kekerasan seksual. Enough is enough,” tambahnya. di Baleg, sebanyak 7 fraksi telah menyetujui draf RUU ini. Dua fraksi lainnya bersikap lain, yakni Fraksi Golkar yang minta penundaan untuk mendengar lebih banyak masukan publik, serta PKS yang sejak awal hingga hari ini kukuh menolak RUU TPKS.

Belum adanya kesepakatan antara pimpinan DPR membuat durasi disahkannya RUU TPKS semakin panjang. Sekadar menetapkannya sebagai RUU inisiatif DPR RI saja baru tahap ke-8 dari 15 tahap pembentukan undang-undang. Menurut anggota Fraksi PDIP Diah Pitaloka, setelah disetujui di rapat paripurna, UU TPKS masih butuh 3-6 bulan hingga disahkan, itu pun jika prosesnya lancar. Dasco mengatakan, RUU ini “pasti” akan dibahas sekitar tanggal 12 atau 14 Januari 2022, setelah masa sidang tahun depan dibuka.

Kepada VICE, aktivis perempuan Kalis Mardiasih mengatakan DPR RI harus mengingat untuk mengutamakan kepentingan korban. “Jika alasannya [penetapan RUU TPKS di rapat paripurna karena] DPR masih perlu waktu untuk mendengar pendapat perwakilan fraksi-fraksi, maka ingatlah, yang perlu diadvokasi dan yang menjadi penyatu perbedaan pendapat antar-fraksi itu jelas, yakni kebutuhan mendesak korban kekerasan seksual untuk mendapat pemulihan dan keadilan.”

Aduan kekerasan pada anak naik terus, didominasi kekerasan seksual

Berkorelasi dengan menguatnya sorotan di media sosial pada kasus kekerasan seksual, Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (Kemen PPA) menemukan kasus kekerasan pada anak dan perempuan terus naik di tiga tahun terakhir. Tragisnya, kekerasan pada anak didominasi kekerasan seksual. 

Angka kekerasan pada anak yang didapati Kemen PPA yakni: 11.057 kasus (2019), 11.279 kasus (2020), dan 12.566 kasus (per November 2021). . Sebanyak 45 persen kasus adalah kekerasan seksual, lalu 19 persen kekerasan psikis dan 18 persen kekerasan fisik.

Untuk kekerasan pada perempuan, sebanyak 8.800 kasus didapati Kemen PPA di 2019, lalu naik jadi 8.600 kasus (2020) dan 8.800 (per November 2021). Sebanyak 39 persen kasus adalah kekerasan fisik, 29,8 persen kekerasan psikis, dan 11,3 persen kekerasan seksual.

Sementara itu, Komnas Perempuan menyebut ada kenaikan dua kali lipat pengaduan kekerasan seksual pada perempuan yang mereka terima sepanjang tahun ini dibanding 2020. Lonjakan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa layanan pendamping yang ada saat ini tak bisa menangani semua aduan.

“Pada tengah tahun 2021 semakin banyak lembaga layanan yang menyatakan diri kewalahan menerima rujukan sementara kasus-kasus pengaduan langsung membanjiri mereka, yang juga bekerja dengan sumber daya yang terbatas. Terlebih, masa pandemi mempengaruhi daya lembaga layanan sehingga tidak mampu melakukan layanan seperti yang diharapkan,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, dilansir Detik.

Siti menambahkan, menurut kajian lembaganya tahun lalu, hanya 30 persen daerah yang memandatkan penyediaan sistem pemulihan untuk korban kekerasan seksual. “Di banyak daerah, keberadaan dan dukungan bagi konselor psikolog adalah hal yang mewah, seperti juga visum gratis dan rumah aman,” ujarnya. 

Apabila RUU TPKS disahkan, pendampingan dan perlindungan korban dan saksi kekerasan seksual menjadi mandat undang-undang (drafnya bisa dibaca di sini). RUU ini juga mempidana kekerasan seksual non-fisik (maksimal 9 bulan penjara), pemaksaan hubungan seksual termasuk dalam perkawinan (12 tahun), dan merintangi penyidikan kekerasan seksual (5 tahun). RUU ini juga bisa memidana Bripda Randy Bagus—saat ini tersangka pemaksaan aborsi Alm. Novia Widyasari—dengan hukuman 20 tahun penjara.

Dengan ancaman keras untuk pelaku dan perlindungan bagi korban, nyatanya RUU ini tak disukai semua orang. Hingga Desember 2021, Fraksi PKS masih ngotot menolaknya karena dianggap melegalkan perzinaan dan LGBT. Sedangkan Fraksi Golkar minta penangguhan waktu agar RUU ini bisa “disempurnakan”.